Setelah akad di masjid pagi tadi, aku, Rudi, masih tak percaya Hanifah kini resmi jadi istriku. Usai shalat maghrib berjamaah, kami kembali ke rumah, dan suasana mendadak terasa canggung. Hanifah, dengan jilbab putihnya yang rapi, tersenyum malu-malu saat kami duduk di beranda. Aku hanya bisa menatap lantai, jantungku berdegup kencang memikirkan malam pertama kami sebagai suami istri.
Di dalam rumah, saat lampu temaram menyala, Hanifah berdiri di dekat meja kecil, merapikan buku-buku agama. Tiba-tiba, dia melepas jilbabnya, dan aku melihat rambutnya yang panjang terurai seperti air terjun hitam berkilau. Aku refleks menutup mata, merasa belum terbiasa melihatnya tanpa jilbab, meski dia sudah sah jadi istriku. Hanifah tertawa kecil, lalu mencubit pipiku pelan. “Mas, aku istrimu, lho! Aku halal untuk dilihat, jangan tutup matanya,” katanya sambil cemberut, tapi tawanya meledak seketika. Aku membuka mata perlahan, tersenyum kikuk, dan berkata, “Ya Allah, Hanifah, rambutmu panjang banget, aku sampai lupa ngaji tadi.”
9092Please respect copyright.PENANA7v7A6Fl9NM
Hanifah tampak senang dengan kerepotanku, matanya berbinar di bawah cahaya lampu. Dia mendekat, masih dengan candaan, “Mas Rudi, kalau malu-malu gini, nanti aku yang genit duluan, lho.” Aku terkekeh, mencoba menutupi rasa gugup, tapi wajahnya yang cantik tanpa jilbab bikin jantungku makin tak karuan. Rambutnya yang panjang dan lembut seolah mengundangku untuk menyentuh, tapi aku masih ragu. “Hanifah, ini beneran kamu, kan? Kok kayak bidadari,” godaku, berusaha mencairkan suasana. Dia cuma mencubitku lagi, bilang, “Ustadz genit, awas nanti aku laporkan ke Ayah!”
9092Please respect copyright.PENANAKlGAzjiJhC
Malam semakin larut, dan kami bersiap untuk “ibadah” pertama sebagai suami istri. Hanifah masuk ke kamar, dan aku menunggu dengan jantungan di ruang tengah. Ketika dia keluar, dia hanya memakai bra dan celana dalam, tubuhnya yang cantik dan ketiaknya yang mulus bikin aku menahan napas. Aroma manis tubuhnya, seperti campuran melati dan kesucian, sungguh memabukkan. Aku kembali memalingkan muka, malu untuk menatap, meski dia sudah halal bagiku. Hanifah tertawa, “Mas Rudi, ini aku, istrimu! Kalau malu-malu gini, nanti aku yang mulai duluan, ya!” katanya sambil mendekat, wajahnya penuh canda.
Aku akhirnya memberanikan diri menatapnya, dan ya Tuhan, Hanifah benar-benar seperti anugerah. Kulitnya yang cerah dan lekuk tubuhnya yang sempurna membuatku tersipu. “Hanifah, kamu bikin aku lupa semua hafalan Al-Qur’an,” kataku, mencoba menyembunyikan gugup dengan bercanda. Dia tersenyum nakal, lalu memelukku tiba-tiba, membuat jantungku hampir copot. “Mas, kita sudah sah, jadi santai aja, ya,” bisiknya, dan aku cuma bisa mengangguk, merasa dunia ini cuma milik kami. Malam itu, kami menjalani momen intim pertama kami, penuh cinta dan sedikit kekakuan yang lucu.
9092Please respect copyright.PENANAHbmz8VBtFr
Keesokan paginya, Hanifah bangun lebih dulu, sudah memakai jilbab rapi saat aku membuka mata. Dia menyeduh teh dan tersenyum penuh makna, seolah menyimpan rahasia manis dari malam sebelumnya. “Mas, tehnya manis apa pahit?” tanyanya, tapi nadanya penuh godaan. Aku terkekeh, “Manis, kayak kamu kemarin malam,” balasku, dan dia langsung mencubit lenganku sambil tertawa. Suasana rumah kecil kami dipenuhi tawa, membuatku lupa betapa canggungnya aku tadi malam. Hanifah, dengan caranya yang alami, membuatku merasa nyaman jadi suami.
9092Please respect copyright.PENANAUerEZMOsYt
Di hari kedua, Hanifah mulai menunjukkan sisi genitnya yang tak kukira. Saat aku sedang membaca buku di ruang tengah, dia tiba-tiba memelukku dari belakang, membuatku kaget. “Mas Rudi, ustadz kok baca buku mulu, cium istrimu dong,” katanya sambil tertawa, wajahnya memerah. Aku pura-pura serius, “Yah, Ustadzah, ini kan siang bolong, nanti santri lihat!” Dia cuma mencium pipiku cepat, lalu lari ke dapur sambil terkikik. Tingkahnya itu bikin aku tersenyum sendiri, merasa beruntung punya istri sepertinya.
9092Please respect copyright.PENANAOAjYoHiery
Hari ketiga, saat kami berjalan ke masjid untuk shalat dzuhur, Hanifah tiba-tiba mencium tanganku di tengah jalan. Aku kaget, melihat sekitar takut ada santri yang melihat. “Hanifah, ini di luar, lho, malu kalau ketahuan,” bisikku, tapi wajahku pasti sudah merah. Dia cuma tersenyum nakal, “Mas, biarin aja, biar mereka tahu aku bangga punya suami ustadz kacamata.” Aku tertawa, menarik tangannya pelan, “Kalau gitu, nanti malam aku balas ciumanmu, ya.” Dia cuma mencubitku lagi, tawanya menggema di udara pesantren.
9092Please respect copyright.PENANAa8cNTV32vi
Di hari-hari pertama itu, Hanifah sering menggodaku dengan caranya yang manis. Pernah, saat aku sedang mencuci piring, dia tiba-tiba memelukku dari samping, berkata, “Mas, ustadz kok nyanyi-nyanyi, kayak lagi pacaran aja.” Aku terkekeh, “Lho, bukannya kita memang lagi pacaran, Ustadzah?” balasku, dan dia langsung mencium pipiku, membuatku hampir menjatuhkan piring. Tingkahnya yang spontan bikin aku lupa rasa malu yang masih tersisa. Rumah kecil kami jadi penuh tawa dan kehangatan, meski aku masih sering tersipu.
9092Please respect copyright.PENANAQ79GXbi3IB
Sore hari kelima, Hanifah tiba-tiba melepas jilbabnya lagi di depanku, sengaja menggoda. Rambut panjangnya tergerai, dan aku lagi-lagi refleks memalingkan muka. “Mas Rudi, kok masih malu, sih? Aku kan istrimu,” katanya, pura-pura cemberut sambil mendekat. Aku tersenyum, “Hanifah, kamu terlalu cantik, aku takut lupa shalat kalau lihat terus.” Dia tertawa keras, lalu memelukku erat, “Kalau gitu, kita shalat bareng, biar sama-sama ingat Allah.” Aku mencium keningnya, merasa cinta kami semakin dalam.
9092Please respect copyright.PENANAhYCAH8rF3p
Malam-malam berikutnya, Hanifah terus membuatku terkejut dengan keberaniannya. Pernah, saat aku sedang menyiapkan materi mengajar, dia tiba-tiba duduk di pangkuanku, berkata, “Mas, ajarin aku ayat-ayat cinta dong.” Aku tergagap, “Hanifah, ini malam, nanti santri dengar, lho!” Dia cuma tertawa, menciumku cepat, dan lari ke kamar. Tingkahnya yang genit tapi penuh kasih membuatku merasa dia benar-benar mencintaiku sepenuhnya. Aku bersyukur, meski masih malu-malu, Hanifah adalah anugerah terbesar dalam hidupku.
9092Please respect copyright.PENANAW5f0fBCDoG
Di akhir minggu pertama, kami duduk di beranda, menikmati angin malam yang sejuk. Hanifah bersandar di bahuku, rambutnya yang terlepas dari jilbab terasa lembut di tanganku. “Mas, senang nggak punya istri genit kayak aku?” tanyanya, matanya penuh canda. Aku tersenyum, “Senang banget, tapi jantungan tiap hari, Ustadzah.” Dia mencium pipiku lagi, “Biar jantungan, asal halal, kan?” Aku memeluknya erat, merasa bahwa rumah kecil ini adalah surga kami.
9092Please respect copyright.PENANAZpHgbu4IRY
Hari-hari pertama pernikahan kami penuh dengan momen manis dan canggung yang lucu. Hanifah, dengan kecantikan dan keberaniannya, mengajarkanku bahwa cinta itu tak perlu malu-malu. Setiap pelukannya, setiap ciumannya, adalah pengingat bahwa dia memilihku sepenuh hati.
ns216.73.216.13da2


