Hari-hari pertama pernikahan kami di Pesantren Al-Hidayah, pelosok Jawa Tengah, terasa seperti mimpi yang penuh warna. Rumah kecil kami di sudut pesantren, dengan dinding kayu sederhana dan halaman kecil penuh bunga kamboja, jadi saksi cinta kami. Setiap pagi, aku dan Hanifah bangun untuk shalat subuh berjamaah di masjid pesantren, lalu mengajar santri dengan semangat. Aroma melati dari tubuh Hanifah selalu mengiringi langkahku, membuatku bersyukur atas anugerah ini. Tapi, di balik kebahagiaan itu, ada bisik-bisik yang mulai mengusik hatiku. Beberapa ikhwan di pesantren, anak-anak kiai dan pengurus, memandangku dengan tatapan merendahkan, seolah aku tak pantas jadi suami Hanifah.
9943Please respect copyright.PENANAXMKOEzv0WN
Mereka adalah para pria yang dulu pernah melirik Hanifah, bahkan ada yang sempat melamarnya. Ada Ustadz Zaki, anak kiai besar, yang punya wajah tampan dan suara menggelegar saat khutbah. Ada pula Ustadz Farid, pengurus pesantren yang kaya, selalu memakai jubah mahal dan punya motor besar. Dibandingkan mereka, aku, Rudi, hanyalah anak ustadz biasa, tanpa harta atau ketampanan istimewa. Fisikku biasa saja, kurus, dengan kacamata tebal yang sering melorot. Yang aku punya hanyalah ilmu agama yang aku pelajari sejak kecil, dan cinta tulus untuk Hanifah.
9943Please respect copyright.PENANAcz61hDzNDS
Di hari pertama pernikahan, saat kami duduk di beranda rumah setelah maghrib, aku merasakan beban di dada. Bisik-bisik para ikhwan tadi siang di masjid masih terngiang, “Hanifah pantas dapat yang lebih baik dari Rudi.” Aku memandang Hanifah, yang sedang menyeduh teh dengan jilbab sederhana tapi tetap memukau. Aku memberanikan diri bertanya, “Hanifah, kamu nyesel nggak sih nikah sama aku?” Dia menoleh, matanya bening menatapku, lalu tersenyum lembut. “Mas Rudi, aku mencintaimu sepenuhnya, demi Allah, demi ibadah, dan demi kamu,” katanya, lalu memelukku erat, membasuh pipiku dengan tangan lembutnya.
9943Please respect copyright.PENANAR6ARr75Tn0
Aku bahagia mendengarnya, tapi cibiran itu terus menghantuiku. Keesokan harinya, saat mengajar di kelas, Ustadz Zaki sengaja lewat dan berkata, “Rudi, ngajarnya jangan lupa hafalan sendiri, ya, kasihan Hanifah kalau suaminya kurang ilmu.” Nada sinisnya menusuk, tapi aku cuma tersenyum dan melanjutkan pelajaran. Hanifah, yang kebetulan mendengar dari kelas sebelah, menghampiriku usai mengajar. “Mas, jangan dengarkan mereka, ilmu agamamu yang bikin aku jatuh cinta,” bisiknya sambil mencubit lenganku pelan. Aku terkekeh, “Yah, kalau gitu, besok aku ajarin kamu ayat-ayat cinta, ya, Ustadzah?” Dia cuma tertawa, wajahnya memerah.
9943Please respect copyright.PENANAqMHGKB0hQf
Di hari ketiga, Ustadz Farid mendatangiku saat aku sedang memperbaiki genteng asrama yang bocor. “Rudi, Hanifah pantas tinggal di rumah besar, bukan di gubuk kecil begini,” katanya dengan senyum yang lebih mirip ejekan. Aku menahan diri, cuma menjawab, “Alhamdulillah, Farid, rumah kecil ini penuh berkah.” Malam itu, aku ceritakan pada Hanifah sambil kami makan malam sederhana, nasi dan tempe goreng. Dia menatapku, lalu berkata, “Mas, rumah ini istanaku, asal kamu ada di dalamnya.” Aku mencium keningnya, rasa hangat menjalar di dadaku, tapi bayang-bayang cibiran itu masih ada.
9943Please respect copyright.PENANAE6l4y2R8Vf
Kehidupan di pesantren berjalan seperti biasa, tapi tatapan para ikhwan itu tak pernah reda. Mereka sering berkumpul di kantin pesantren, berbisik tentang betapa Hanifah terlalu sempurna untukku. “Dia dulu rebutan, lho, kok malah pilih Rudi yang nggak punya apa-apa,” kata salah satu dari mereka, cukup keras hingga aku dengar. Aku tak pernah membalas, karena aku tahu Hanifah memilihku bukan karena harta atau wajah. Tapi, kadang aku bertanya pada diri sendiri, apa aku benar-benar layak untuknya? Hanifah selalu tahu saat aku gelisah; dia akan memegang tanganku dan bilang, “Mas, aku pilih kamu karena hatimu.”
Suatu sore, saat kami berjalan ke masjid untuk shalat ashar, Ustadz Zaki menghampiri kami. “Hanifah, kalau butuh apa-apa, bilang saja, rumah ayahku selalu terbuka,” katanya, sengaja mengabaikanku.
9943Please respect copyright.PENANAbzGzCMCf0o
Hanifah tersenyum sopan, tapi tegas menjawab, “Terima kasih, Ustadz, tapi aku bahagia dengan Mas Rudi.” Aku merasa bangga, tapi juga sedikit minder; Zaki punya segalanya yang aku tak miliki. Malam itu, aku menggoda Hanifah, “Kalau tadi kamu bilang iya ke Zaki, sekarang kita udah tinggal di rumah besar, lho.” Dia mencubitku keras, “Mas Rudi, jangan nakal, aku cuma mau tinggal sama ustadz kacamata ini!”
Cibiran tak hanya datang dari Zaki dan Farid. Ada Ustadz Hafidz, anak kiai lain, yang pernah bilang di depan santri bahwa Hanifah pasti menyesal menikah denganku. Aku cuma diam, tapi hatiku panas mendengarnya. Hanifah, yang mendengar kabar itu dari santriwati, menghiburku dengan caranya sendiri. “Mas, kalau mereka iri, biarin aja, kan aku yang pilih kamu,” katanya sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tersenyum, “Yah, Ustadzah, kalau gitu aku harus ajarin mereka surah tentang ikhlas, nih.” Tawa kami menggema di ruang kecil kami, menenggelamkan luka dari cibiran.
9943Please respect copyright.PENANAi2DdQdfjGW
Hari keenam pernikahan, aku dan Hanifah mengajar kelas bersama untuk pertama kalinya. Santriwati kagum pada Hanifah, tapi beberapa santri laki-laki, dipengaruhi senior mereka, memandangku dengan sinis. Aku fokus mengajar, tapi pikiranku terpecah oleh bisik-bisik itu. Usai kelas, Hanifah menarikku ke samping dan berkata, “Mas, ajarannya tadi bagus banget, aku bangga jadi istrimu.” Kata-katanya seperti angin sejuk, menghapus keraguanku. Aku balas, “Kalau gitu, besok aku ajarin ayat-ayat soal sabar, ya, buat kita berdua.” Dia tertawa, memelukku di bawah pohon kamboja.
9943Please respect copyright.PENANA5iqdRBTXgo
Di minggu pertama, aku mulai belajar menerima bahwa cibiran akan selalu ada. Hanifah, dengan kecantikan dan kelembutannya, memang jadi impian banyak pria. Tapi, dia memilihku, anak ustadz biasa dengan kacamata tebal dan ilmu agama sebagai harta satu-satunya. Setiap malam, kami duduk di beranda, berbagi cerita dan candaan. “Mas, kalau aku nggak nikah sama kamu, aku bakal kehilangan ustadz paling genit di pesantren ini,” godanya sambil mencubitku. Aku tertawa, “Genit cuma buat Ustadzah Hanifah, kok!”
9943Please respect copyright.PENANAFSdSxakbO0
Cibiran itu perlahan memudar di hatiku, karena cinta Hanifah begitu nyata. Dia selalu tahu cara membuatku merasa cukup, meski aku tak punya harta atau wajah tampan. Suatu malam, saat kami berbaring di tikar sederhana, aku bertanya lagi, “Hanifah, beneran nggak nyesel?” Dia menatapku, lalu mencium pipiku, “Mas Rudi, aku pilih kamu di dunia dan akhirat, nggak akan pernah nyesel.” Aku memeluknya erat, merasa bahwa cinta kami lebih besar dari semua cibiran. Pesantren Al-Hidayah, dengan segala tantangannya, adalah rumah kami, tempat cinta kami bertumbuh.
9943Please respect copyright.PENANAVBCt4cvZOX
Hari-hari berikutnya, aku belajar untuk tak peduli pada tatapan sinis para ikhwan. Aku fokus pada Hanifah dan tugas kami sebagai ustadz dan ustadzah. Setiap kali aku melihatnya mengajar dengan suara merdu, aku bersyukur Allah mempertemukan kami. Cibiran mungkin tak akan hilang, tapi cinta Hanifah adalah perisai bagiku. “Mas, kalau mereka masih nyinyir, ajak duel ngaji aja,” canda Hanifah suatu malam. Aku terkekeh, “Yah, Ustadzah, kalau duel ngaji, aku menang, tapi kalau duel ganteng, aku pulang duluan!”
9943Please respect copyright.PENANAjSMHDyOy7b
Kehidupan pernikahan kami baru dimulai, tapi aku tahu tantangan lain menanti. Belum hadirnya anak di tengah kami jadi luka baru, terutama bagi Hanifah yang mulai dicibir orang. Tapi, di hari-hari pertama ini, aku belajar bahwa cinta kami adalah kekuatan terbesar. Setiap malam Jumat, kami berdoa bersama, meminta keajaiban dari Allah. “Mas, apa pun yang Allah kasih, aku bahagia selama ada kamu,” kata Hanifah, dan aku mencium keningnya. Di bawah langit Pesantren Al-Hidayah, aku berjanji menjaga Hanifah, apa pun yang orang katakan.
ns216.73.216.13da2


