Di malam ketiga pernikahan kami di rumah kecil Pesantren Al-Hidayah, aku, Rudi, dan Hanifah bersiap menjalani momen intim lagi. Suasana malam itu tenang, hanya suara jangkrik dan angin sejuk yang masuk lewat jendela kayu. Kami baru selesai shalat isya berjamaah, dan Hanifah, dengan jilbabnya yang sudah dilepas, tampak cantik di bawah lampu temaram. Aku masih merasa gugup, meski ini bukan kali pertama kami berhubungan badan. Hati ini berdebar, takut gagal lagi memuaskan Hanifah seperti dua malam sebelumnya. Aku tahu kekuranganku: ejakulasi dini dan ukuran kontolku yang kecil, membuatku minder di hadapan istriku yang begitu sempurna.
9101Please respect copyright.PENANAdrporMWO9c
Malam itu, kami duduk di ranjang sederhana, kasur kapuk dengan sprei putih yang masih wangi. Hanifah tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana dengan menggenggam tanganku. “Mas Rudi, malam ini kita santai aja, ya, kayak ibadah biasa,” katanya, suaranya lembut seperti selalu. Aku mengangguk, tapi pikiranku dipenuhi memori malam pertama, saat Hanifah melihat kontolku untuk pertama kali. Dia menahan tawa, mungkin karena kaget, dan aku merasa tersinggung meski tak bilang apa-apa. Aku cuma tersenyum kaku, berkata, “Hanifah,aku kocok dulu, ya, biar aku nggak grogi.”
9101Please respect copyright.PENANAl3ANePWmrJ
Hanifah melepas bajunya perlahan, hanya menyisakan bra dan celana dalam, tubuhnya yang indah membuatku menahan napas. Aroma manis tubuhnya, seperti melati, mengisi ruangan, tapi aku malah semakin gugup. Aku mencoba memulai dengan ciuman lembut di keningnya, berharap bisa rileks. “Mas, kamu kok gemeteran, kayak pertama kali ketemu aku di pesantren,” godanya sambil mencubit lenganku pelan. Aku terkekeh, “Yah, Ustadzah, kamu terlalu cantik, aku takut lupa doa.” Dia tertawa, tapi aku tahu dia berusaha membuatku nyaman.
9101Please respect copyright.PENANAw2uTUHBYzI
Saat kami mulai berhubungan, aku berusaha fokus, tapi tubuhku tak bisa menahan lama. Dalam hitungan menit, aku sudah mencapai klimaks, jauh sebelum Hanifah merasakan apa-apa. Aku menunduk, malu, merasa gagal lagi sebagai suami. Hanifah memandangku dengan mata penuh kasih, lalu memelukku erat. “Mas, nggak apa-apa, kita kan baru belajar bareng,” katanya, suaranya penuh kehangatan. Aku cuma mengangguk, tapi dalam hati aku tahu dia pasti kecewa, meski mulutnya tak pernah mengeluh.
9101Please respect copyright.PENANAScRUmvAIMP
Kami berbaring dalam diam, suasana canggung menyelimuti kamar kecil kami. Hubungan badan yang seharusnya jadi ibadah dan rekreasi hanya berlangsung belasan menit. Aku menatap langit-langit, berpikir tentang kekuranganku yang tak bisa kuberikan kepuasan untuknya. Hanifah memegang tanganku, berkata, “Mas, yang penting kita saling sayang, sisanya kita pelan-pelan, ya.” Aku tersenyum tipis, “Hanifah, maaf, ya, aku kayak gini.” Dia mencium pipiku, “Mas Rudi, aku bahagia sama kamu, apapun itu.”
9101Please respect copyright.PENANAeDNAsOxFuq
Aku teringat lagi malam pertama, saat Hanifah menahan tawa melihat kontolku yang mini. Aku tahu dia tak bermaksud jahat, tapi luka kecil itu masih terasa di hatiku. Sekarang, sepertinya dia sudah terbiasa, tak lagi mempermasalahkan ukuranku atau ejakulasiku yang cepat. Tapi, aku tetap merasa tak cukup untuknya, wanita yang begitu cantik dan penuh pesona. “Hanifah, kamu nggak kesel sama aku, kan?” tanyaku pelan, takut mendengar jawabannya. Dia menggeleng, “Mas, aku nikah sama kamu karena cinta, bukan cuma soal ini.”
9101Please respect copyright.PENANAba5Pj69o3T
Malam itu, setelah momen intim yang singkat, kami tidur dalam keadaan canggung. Aku memeluknya dari belakang, mencium aroma rambutnya yang panjang, tapi pikiranku dipenuhi rasa bersalah. Hanifah berbalik, menatapku, dan berkata, “Mas, besok kita coba lagi, ya, aku suka kok dekat sama kamu.” Aku tersenyum, “Ustadzah, kamu setia banget, sih, aku sampai nggak enak.” Dia tertawa kecil, “Makanya, Mas Ustadz, latihan biar tahan lama, kayak ngaji!” Candanya membuatku sedikit lega, tapi beban itu masih ada.
9101Please respect copyright.PENANAmGmhYZ1ZB0
Di tengah malam, aku terbangun, melihat Hanifah tidur pulas di sampingku. Wajahnya damai, tapi aku bertanya-tanya apa dia benar-benar bahagia dengan keadaanku. Aku tahu dia mencintaiku karena ilmu agamaku dan ketulusanku, tapi aku ingin memberinya lebih. “Ya Allah, bantu aku jadi suami yang baik untuk Hanifah,” doaku dalam hati. Pagi harinya, Hanifah bangun dengan senyum cerah, seolah tak ada yang salah. “Mas, ayo shalat subuh, nanti kita ngajar bareng, ya,” ajaknya, seperti biasa penuh semangat.
9101Please respect copyright.PENANA8Do0JurFb2
Hari itu, saat kami mengajar di kelas, aku mencuri pandang ke arah Hanifah. Suaranya yang merdu saat mengajar tahfidz membuat santriwati terpukau, tapi aku masih memikirkan malam tadi. Usai kelas, dia menghampiriku, berkata, “Mas, tadi ngelamun apa, kok nggak fokus ngajar?” Aku tergagap, “Eh, nggak, cuma kagum sama Ustadzah Hanifah.” Dia mencubitku, “Jangan gombal, Mas, nanti aku yang grogi!” Tawanya membuatku merasa sedikit lebih ringan.
Malam-malam berikutnya, Hanifah terus menyemangatiku dengan caranya yang lembut. Dia tak pernah menunjukkan kekesalan, meski aku tahu hubungan kami belum seperti yang dia harapkan. “Mas, kita nikmati aja dulu, kan kita masih baru,” katanya suatu malam, sambil memelukku erat. Aku mengangguk, “Hanifah, makasih, ya, kamu baik banget.” Dia tersenyum, “Mas Rudi, aku kan istrimu, tugasku bikin kamu senang.” Kata-katanya seperti balsem, meski aku masih merasa kurang.
Aku mulai membaca buku-buku agama tentang kehidupan suami istri, berharap menemukan cara untuk memperbaiki diri. Hanifah, seolah tahu usahaku, sering menggoda, “Mas, baca apa, sih? Belajar jadi ustadz romantis, ya?” Aku tertawa, “Bukan, belajar biar Ustadzah nggak bosan sama aku.” Dia memelukku tiba-tiba, “Mas, aku nggak akan pernah bosan, janji.” Pelukannya hangat, tapi aku tetap bertekad untuk jadi lebih baik untuknya.
9101Please respect copyright.PENANAPxXGlbKuBi
Di hari-hari awal itu, aku belajar menerima kekuranganku, berkat dukungan Hanifah. Meski hubungan badan kami masih singkat dan canggung, dia selalu membuatku merasa dicintai. “Mas, nanti kita coba lagi, ya, pelan-pelan aja,” katanya suatu malam, sambil mencium keningku. Aku tersenyum, “Hanifah, kamu bikin aku malu, tapi juga bersyukur banget.” Dia tertawa, “Ustadz kacamata, malu-maluin aja, tapi aku suka, kok.” Candaannya membuatku merasa kami akan baik-baik saja.
9101Please respect copyright.PENANAcNUSIIjEf9
Keintiman kami mungkin belum sempurna, tapi cinta Hanifah adalah kekuatanku. Setiap malam, aku berdoa agar Allah memberiku kemampuan untuk membahagiakannya. Hanifah, dengan ketaatannya, membuatku percaya bahwa kami bisa melewati ini bersama. “Mas, kita kan tim, ya, apa pun itu,” katanya suatu pagi, sambil menyeduh teh untukku. Aku mengangguk, “Tim terbaik, Ustadzah, asal kamu nggak mnggoda aku pas aku ngajar.” Dia mencubitku, dan tawa kami mengisi rumah kecil di pesantren.
9101Please respect copyright.PENANAbCTyKcoJPx
Hari-hari awal pernikahan kami penuh dengan canggung, tapi juga cinta yang tulus. Hanifah, meski mungkin kecewa dalam hati, tak pernah lelah menyemangatiku. Aku tahu aku bukan suami sempurna, tapi dia membuatku merasa cukup.
ns216.73.216.13da2


