Sejak kecil, aku terbiasa dengan ritme pesantren yang teratur. Pagi diisi mengaji, siang belajar, dan malam menghafal Al-Qur’an di bawah lampu neon yang temaram. Aku bukan santri paling cemerlang, tapi aku berusaha keras agar tak mengecewakan Ayah. Semuanya berubah saat Hanifah masuk ke pesantren ini di usia remajaku. Dia anak baru, pindahan dari kota, dengan wajah yang bikin jantungku berdegup kencang. Suara tahfidznya seperti alunan surga, dan aroma melati yang selalu mengikutinya membuatku sulit berkonsentrasi. Aku ingat pertama kali melihatnya di kelas, duduk rapi dengan jilbab putih, dan aku cuma bisa mencuri pandang.
10757Please respect copyright.PENANAdBxrIhJZbS
Pacaran dilarang keras di pesantren, jadi aku dan Hanifah hanya bisa saling curi perhatian. Setiap dia membaca Al-Qur’an, aku pura-pura fokus pada mushaf, padahal telingaku terpaku pada suaranya. Aku sering iseng bertanya soal hafalan yang aku tahu dia kuasai, cuma supaya dia menoleh ke arahku. Hanifah selalu menjawab dengan senyum tipis yang bikin aku melayang. Kadang, saat kami diskusi kelompok, tangannya tak sengaja menyentuhku, dan itu cukup membuat hariku penuh warna. Meski kami tak pernah mengungkapkan perasaan, aku yakin dia juga menyimpan rasa, seperti aku.
10757Please respect copyright.PENANATQpyTc3T5j
Hanifah bukan cuma cantik, tapi juga cerdas dan berakhlak lembut, membuatnya jadi idola para ikhwan. Banyak santri senior yang mencoba mendekatinya, bahkan ada yang nekat mengirim surat cinta. Hanifah selalu menolak dengan sopan, bilang fokusnya cuma belajar dan mengaji. Aku cemburu, tapi aku tak punya hak mengatakan apa-apa, karena aku sendiri tak berani bicara. Pernah satu malam, saat pengajian, aku sengaja duduk agak dekat dengannya, berharap dia notice. Dia cuma menunduk, tapi aku yakin pipinya memerah di bawah cahaya lampu masjid.
10757Please respect copyright.PENANAwNHJBDdJWo
Waktu berlalu, dan Hanifah semakin bersinar di pesantren. Dia sering memimpin kelas tahfidz untuk adik-adik, suaranya lembut tapi tegas, bikin semua orang kagum. Aku suka menggodanya, bilang, “Ustadzah Hanifah, suaramu kok bikin santri lupa hafalan, sih?” Dia cuma tertawa, matanya berbinar, dan itu cukup bikin aku bahagia. Kami semakin dekat lewat diskusi pelajaran, meski kadang percakapan kami melenceng ke candaan ringan. Tapi, aturan pesantren seperti tembok tak terlihat, menahan kami untuk lebih dari sekadar teman.
10757Please respect copyright.PENANAr2qXU2sYdA
Di luar pesantren, Hanifah mulai dilirik orang-orang penting. Suatu hari, kabar datang bahwa seorang pengusaha kaya dari kota melamarnya. Pria itu datang dengan mobil Mercedes mengkilap, pamer kekayaan yang bikin orang-orang desa terpana. Dia menjanjikan kehidupan mewah untuk Hanifah, tapi orang tuanya menolak mentah-mentah. Mereka bilang agama pria itu tak jelas, hanya shalat kalau ingat, dan tak pernah terlihat di masjid. Hanifah sendiri tak tertarik; dia bilang pada Ibunya dia ingin suami yang seiman, bukan sekadar kaya.
10757Please respect copyright.PENANAVTD4pmOB8x
Tak lama setelah itu, datang lamaran lain dari seorang anggota dewan. Pria itu necis, selalu pakai jas dan wangi parfum mahal, tapi kabarnya ingin menjadikan Hanifah istri kedua. Dia sering datang ke pesantren, sok akrab dengan para ustadz, dan memamerkan jabatannya. Orang tua Hanifah kembali menolak, kali ini dengan alasan prinsip; mereka tak ingin putrinya jadi istri kedua. Hanifah setuju, bilang dia tak mau berbagi suami, apalagi dengan pria yang lebih tua dan penuh gaya. Aku diam-diam lega, meski cemburu membayangkan betapa banyak pria yang menginginkannya.
10757Please respect copyright.PENANA6pL7UdtmII
Lamaran ketiga datang dari sosok yang tak disangka: seorang sesepuh pesantren, kiai tua yang disegani. Dia sudah punya tiga istri dan ingin menjadikan Hanifah istri keempat. Orang tua Hanifah ragu menolak, karena kiai itu punya pengaruh besar di komunitas pesantren. Mereka takut dianggap tak hormat, tapi Hanifah tegas menolak. Dia bilang pada Ibunya, dengan hormat tapi lugas, bahwa dia tak mau menikah dengan pria yang sudah jompo dan tak bisa memberi perhatian penuh. Akhirnya, dengan berat hati, orang tuanya menyampaikan penolakan, dan kiai itu menerima dengan lapang dada.
10757Please respect copyright.PENANAgo4M6DjHnA
Di tengah semua lamaran itu, aku hanya bisa memandang dari kejauhan. Aku anak pesantren, hidupku sederhana, tak punya mobil mewah atau jabatan tinggi. Tapi, cinta membuatku nekat; aku mulai berdoa meminta petunjuk untuk melamar Hanifah. Aku ceritakan perasaanku pada Ayah, yang tersenyum dan bilang dia sudah lama tahu dari caraku memandangnya. Dengan restunya, aku memberanikan diri mendatangi rumah Hanifah. Jantungku berdegup kencang saat aku bilang ingin menjadikannya pendamping hidup, bukan cuma karena cinta, tapi karena aku yakin kami bisa berjuang bersama.
10757Please respect copyright.PENANAIec5fFVGmu
Proses lamaran tak mudah, karena Hanifah memang jadi rebutan. Orang tuanya ingin yang terbaik untuk putri mereka, dan aku hanyalah ustadz muda tanpa harta berlimpah. Tapi, aku datang dengan niat tulus dan restu Ayah-Ibu, yang ternyata disegani keluarga Hanifah. Aku bicara dari hati, bilang aku ingin membangun rumah tangga yang penuh kebaikan bersamanya. Hanifah menunduk lama, lalu tersenyum, dan senyum itu jadi jawaban yang aku tunggu-tunggu. Dua bulan kemudian, kami bertunangan, dan aku merasa dunia ini milik kami berdua.
10757Please respect copyright.PENANA43gr2s9RMj
Hari-hari menjelang pernikahan penuh tawa dan kegugupan. Aku sering menggoda Hanifah, bilang dia harus belajar masak nasi goreng spesial untukku. Dia balas dengan tawa, bilang, “Ustadz Rudi, kalau gosong, kamu yang makan, ya!” Kami tak banyak bicara soal cinta, karena di pesantren, cinta diungkapkan lewat perbuatan. Setiap kali kami bekerja bersama, sentuhan tangannya yang tak sengaja bikin jantungku berdegup. Malam sebelum akad, aku tak bisa tidur, membayangkan hidup bersamanya di pesantren ini.
10757Please respect copyright.PENANAfG6rqsrMkS
Hari pernikahan kami diadakan sederhana di masjid pesantren. Hanifah tampak memukau dalam jilbab putih, wajahnya bersinar di bawah sinar matahari pagi. Aku gemetar saat mengucap akad, tapi tangan Ayah di bahuku memberi kekuatan. Saat aku memandang Hanifah, yang kini resmi jadi istriku, aku berjanji dalam hati untuk menjaganya seumur hidup. Pesantren Al-Hidayah, tempat aku lahir dan dibesarkan, kini jadi saksi cinta kami. Tapi, aku tak tahu bahwa perjalanan rumah tangga akan membawa tantangan lebih besar dari sekadar menaklukkan hatinya.
10757Please respect copyright.PENANAY92HfU26jN
Kini, sebagai suami istri, kami tinggal di rumah kecil di area pesantren. Kami mengajar bersama, berbagi tawa dan doa, tapi ada luka yang mulai terasa: kami belum dikaruniai anak setelah tiga tahun menikah. Hanifah kadang termenung setelah mengajar, dan aku tahu dia menyimpan beban dari cibiran orang.
ns216.73.216.13da2


