Aku, Rudi, lahir dan besar di Pesantren Al-Hidayah, sebuah tempat di pelosok Jawa Tengah, jauh dari keramaian kota. Pesantren ini dikelilingi sawah hijau dan bukit kecil, dengan udara sejuk yang membawa aroma tanah basah setelah hujan. Bangunan utamanya sederhana, berdinding bata merah dan beratap genteng, dikelilingi asrama santri yang penuh suara tahfidz dan tawa. Setiap pagi, azan subuh menggema, mengundang langkah-langkah santri menuju masjid. Ayah dan Ibu, keduanya ustadz, mendirikan pesantren ini puluhan tahun lalu dengan mimpi menjadikannya oase ilmu dan akhlak. Aku, anak tunggal mereka, seolah ditakdirkan melanjutkan perjuangan itu, meski kadang aku bertanya dalam hati, apakah ini benar-benar jalanku?
12619Please respect copyright.PENANAUGvTXNLcOI
Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan ritme pesantren. Pagi mengaji, siang belajar, malam menghafal Al-Qur’an di bawah lampu neon yang temaram. Aku bukan santri paling pintar, tapi selalu berusaha keras supaya tak mengecewakan Ayah. Di usia remaja, hidupku mulai berubah saat Hanifah datang ke pesantren ini. Dia anak baru, pindahan dari kota, dengan wajah yang bikin jantungan dan suara tahfidz yang seperti alunan surga. Matanya bening, rambutnya tersembunyi rapi di balik jilbab, tapi aura kecantikannya seolah menembus kain itu. Aku ingat pertama kali melihatnya di kelas tahfidz, jantungku berdegup kencang, tapi aku cuma bisa mencuri pandang.
12619Please respect copyright.PENANAJ67fpq45O4
Di pesantren, pacaran dilarang keras, jadi aku dan Hanifah cuma bisa saling mencuri perhatian. Setiap kali dia membaca Al-Qur’an di kelas, aku pura-pura fokus pada mushaf, padahal telingaku menangkap setiap nada suaranya. Dia selalu duduk di baris depan, jilbabnya rapi, tapi entah kenapa selalu ada aroma melati yang tercium kalau dia lewat. Aku sering menggodanya kecil-kecilan, seperti sengaja bertanya soal hafalan yang aku tahu dia kuasai, cuma biar dia menoleh ke arahku. Hanifah tak pernah marah, malah tersenyum tipis, dan senyum itu bikin aku melayang. Tapi, aku tahu batas; pesantren punya aturan ketat, dan aku anak ustadz pula.
12619Please respect copyright.PENANAPzGNjvdErJ
Waktu itu, Hanifah jadi pusat perhatian para ikhwan. Bukan cuma karena wajahnya yang cantik, tapi juga karena akhlaknya yang lembut dan kecerdasannya dalam pelajaran agama. Ada kakak kelas yang berani menyatakan perasaan lewat surat, tapi Hanifah menolak dengan sopan, bilang fokusnya cuma belajar. Aku cemburu, tapi apa daya, aku cuma bisa menyimpan rasa di hati. Pernah satu kali, saat pengajian malam, aku sengaja duduk agak dekat dengannya, berharap dia notice. Dia cuma menunduk, tapi aku yakin pipinya memerah di bawah lampu temaram.
12619Please respect copyright.PENANAPuLGIAfdHf
Tahun-tahun berlalu, dan kami semakin dekat, meski cuma lewat diskusi kelompok atau tugas pesantren. Aku suka melihatnya mengajar adik-adik kelas, suaranya sabun lembut tapi tegas, bikin semua orang terpaku. Kadang, aku iseng menggoda dengan bilang, “Ustadzah Hanifah, suaramu kok bikin santri lupa hafalan, sih?” Dia cuma tertawa, tapi matanya berbinar, dan itu cukup bikin hariku. Aku tahu dia juga punya perasaan, meski kami tak pernah mengungkapkannya. Aturan pesantren seperti tembok tak terlihat di antara kami, tapi hati kami seolah punya bahasa sendiri.
12619Please respect copyright.PENANALwENBg4ebH
Ketika aku berusia 20 tahun, aku mulai membantu Ayah mengajar di pesantren. Hanifah, yang sudah selesai masa belajarnya, memilih tinggal sebagai asisten pengajar. Aku senang, karena itu artinya aku masih bisa melihatnya setiap hari. Kami sering berdiskusi soal pelajaran, tapi kadang percakapan kami melenceng ke hal-hal ringan, seperti candaan tentang santri yang lupa hafalan atau makanan di kantin pesantren. Aku suka melihatnya tertawa, karena saat itu wajahnya bersinar lebih terang dari lampu masjid. Tapi, aku juga sadar, dia mulai dilirik banyak ikhwan dari luar pesantren, dan itu bikin aku gelisah.
12619Please respect copyright.PENANAsfUZATJ7Qf
Suatu hari, aku mendengar kabar bahwa ada ustadz muda dari kota yang ingin melamar Hanifah. Jantungku seperti berhenti; aku tahu aku harus bertindak sebelum terlambat. Aku berdoa berhari-hari, meminta petunjuk, karena melamar Hanifah bukan cuma soal cinta, tapi juga tanggung jawab besar. Aku anak pesantren, hidupku sederhana, dan aku tahu Hanifah bisa mendapatkan yang lebih baik. Tapi, cinta membuatku nekat; aku ceritakan perasaanku pada Ayah, meminta restunya untuk melamar. Ayah tersenyum, bilang dia sudah lama tahu dari caraku memandang Hanifah.
12619Please respect copyright.PENANA5oms2uo2H7
Proses lamaran tak mudah, karena Hanifah memang jadi rebutan. Orang tuanya, meski sederhana, ingin yang terbaik untuk putri mereka. Aku datang ke rumah mereka dengan jantungan, membawa restu Ayah dan Ibu, plus keberanian yang entah datang dari mana. Aku bilang padanya, dengan suara gemetar, bahwa aku ingin menjadikannya pendamping hidup, bukan cuma karena cinta, tapi karena aku yakin kami bisa membangun kebaikan bersama. Hanifah menunduk lama, lalu tersenyum, dan itu jawaban yang aku tunggu-tunggu. Dua bulan kemudian, kami bertunangan, dan hati aku rasanya penuh dengan syukur.
12619Please respect copyright.PENANAoKISgamgEQ
Hari-hari menjelang pernikahan penuh dengan canda dan kegugupan. Aku sering menggoda Hanifah, bilang kalau nanti dia harus masak nasi goreng spesial untukku setiap hari. Dia cuma tertawa, bilang, “Ustadz Rudi, kalau nasinya gosong, jangan protes, ya!” Kami tak banyak bicara soal cinta, karena di pesantren, cinta diungkapkan lewat perbuatan, bukan kata-kata. Tapi, setiap kali tangannya tak sengaja menyentuhku saat kami bekerja bersama, aku merasa dunia ini cuma milik kami berdua. Malam sebelum akad, aku tak bisa tidur, membayangkan hidup bersamanya di pesantren ini.
12619Please respect copyright.PENANAR0brG13RuJ
Hari pernikahan kami sederhana, di masjid pesantren, dihadiri santri dan keluarga. Hanifah tampak memukau dalam jilbab putih, wajahnya bersinar di bawah sinar matahari pagi. Aku gemetar saat mengucap akad, tapi tangan Ayah yang memegang bahuku memberi kekuatan. Saat aku memandang Hanifah, yang kini resmi jadi istriku, aku berjanji dalam hati untuk menjaganya seumur hidup. Pesantren Al-Hidayah, tempat aku lahir dan dibesarkan, kini jadi saksi awal perjalanan kami. Tapi, di balik kebahagiaan itu, aku tak tahu bahwa hidup berumah tangga akan membawa tantangan yang lebih besar dari sekadar cinta.
Aku dan Hanifah mulai hidup sebagai pasangan di sebuah rumah kecil di area pesantren. Setiap hari, kami mengajar bersama, berbagi tawa dan doa, tapi ada satu hal yang mulai mengganjal: kami belum dikaruniai anak. Aku tak terlalu memikirkannya di awal, tapi melihat Hanifah kadang termenung setelah mengajar, aku tahu dia menyimpan luka. Cibiran dari luar mulai terdengar, terutama pada Hanifah, yang dulu dipuja kini dianggap kurang sempurna karena belum hamil. Aku berusaha menghiburnya, kadang dengan candaan nakal seperti, “Yah, mungkin malaikatnya masih antre kasih kita anak, sabun sabun dulu!” Tapi, di dalam hati, aku juga berdoa, meminta keajaiban untuk kami berdua di bawah langit Pesantren Al-Hidayah.
ns216.73.216.13da2


