Nuray, kini 29 tahun, telah menjadi bagian dari komunitas masjid kecil di pinggiran Jakarta, aktif membantu kegiatan Ramadan dan Lebaran. Meski ia kini mengenakan gamis polos dan jilbab lebar yang menutupi auratnya, siluet tubuhnya yang indah—terutama payudara dan pinggulnya—masih menarik perhatian banyak pria. Para jamaah pria, dari yang sudah beristri hingga remaja yang baru puber, sering kali tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Godaan datang dalam bentuk pertanyaan sensitif tentang masa lalunya sebagai bintang film dewasa, sering kali saat ia sedang sendirian di lorong masjid, di jalan menuju tempat wudu, atau bahkan saat makan bersama jamaah. Nuray menyikapi semua itu dengan sabar, berusaha tetap ramah meski kadang merasa tak nyaman. Ia melihat mereka sebagai keluarga seiman, meski godaan itu sering menguji keteguhan imannya.
2104Please respect copyright.PENANAVUVVDNCj4F
Suatu sore, saat Nuray sedang membersihkan lorong masjid, Pak Budi, seorang pedagang beristri berusia 40-an, mendekatinya. Dengan nada setengah bercanda, ia berkata, “Mbak Nuray, dulu jago banget di film, ya, apa sih rahasianya bikin pria betah nonton?” Matanya tak lepas dari siluet tubuh Nuray yang tersembunyi di balik gamis cokelat polos. Nuray tersenyum tipis, menjawab, “Pak, sekarang saya cuma pengen bikin hati tenang, bukan bikin film.” Pak Budi terkekeh, tapi tetap menatapnya dengan nakal sebelum berlalu. Nuray menghela napas, berdoa dalam hati agar diberi kekuatan untuk tak tersinggung. Ia tahu masa lalunya masih menjadi bahan rasa ingin tahu bagi banyak pria.
2104Please respect copyright.PENANAmCE8IF4HDY
Di lain waktu, saat Nuray berjalan menuju tempat wudu, seorang remaja bernama Dika, yang baru berusia 16 tahun, memberanikan diri menyapanya. “Mbak Nuray, beneran Mbak yang main di film-film itu, ya? Kok berhenti sih, kan keren!” katanya dengan mata berbinar, menatap gamis hijau yang tak bisa sepenuhnya menyembunyikan lekuk tubuh Nuray. Nuray tersenyum lembut, menjawab, “Dika, keren itu kalau kita dekat sama Allah, bukan main film.” Dika mengangguk, tapi wajahnya menunjukkan ia masih penasaran. Nuray bergegas mengambil air wudu, berusaha mengabaikan tatapan polos namun penuh rasa ingin tahu itu. Ia sadar remaja seperti Dika sering terpengaruh oleh cerita-cerita tentang masa lalunya.
2104Please respect copyright.PENANAo6HBozYGWN
Saat acara buka puasa bersama di masjid, Nuray duduk di sudut ruangan, menyantap kurma dan kolplay. Pak Slamet, seorang jamaah beristri yang dulu penggemar beratnya, duduk di dekatnya dan berbisik, “Mbak Nuray, dulu Mbak jago muasin laki-laki di layar, ya, apa kabar skill itu sekarang?” Matanya melirik ke arah dada Nuray, meski tertutup gamis biru tua. Nuray menahan tawa, menjawab, “Pak, sekarang skill saya cuma buat ngaji sama bantu masjid.” Pak Slamet tertawa, tapi tatapannya tetap tak sopan. Nuray mengalihkan perhatian ke anak-anak di dekatnya, berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia tahu godaan seperti ini akan terus ada, tapi ia tak ingin membiarkannya mengganggu.
2104Please respect copyright.PENANA2wlobKlP0X
Pagi hari setelah salat Subuh, saat Nuray sedang merapikan sajadah, seorang pria muda bernama Reza, yang baru lulus kuliah, mendekatinya. “Mbak Nuray, dulu Mbak kan bikin pria-pria pada susah tidur, sekarang kok malah bikin orang pengen ke masjid?” katanya sambil tersenyum nakal, matanya menelusuri siluet pinggul Nuray. Nuray terkekeh, menjawab, “Alhamdulillah, kalau ke masjid sih boleh, Mas, tapi jangan lupa niatnya ibadah.” Reza mengangguk, tapi tatapannya masih penuh kekaguman. Nuray bergegas keluar, menyadari bahwa bahkan pria muda seusia Reza pun tahu masa lalunya. Ia berdoa agar bisa terus menjaga hati dan pandangannya.
2104Please respect copyright.PENANAXN7LB4FzAa
Di lorong menuju ruang pengajian wanita, Pak Yanto, seorang sopir truk berusia 50-an, menghentikan Nuray. “Mbak, dulu kan Mbak bikin pria pada mabuk kepayang, apa sih triknya biar sebagus itu di depan kamera?” katanya dengan tawa kecil, matanya tak lepas dari tubuh Nuray. Nuray menjawab dengan tenang, “Pak, trik saya sekarang cuma baca Al-Qur’an biar hati tenang.” Pak Yanto terdiam, seolah tak menyangka jawaban itu, lalu berlalu sambil mengangguk. Nuray menghela napas, merasa campur aduk antara kesal dan sabar. Ia tahu pria seperti Pak Yanto mungkin tak bermaksud jahat, tapi pertanyaan mereka sering menyakitinya.
2104Please respect copyright.PENANAYS3GcBrP13
Saat membantu membagikan makanan untuk anak yatim, seorang remaja bernama Fajar, yang baru puber, mendekati Nuray dengan wajah malu-malu. “Mbak Nuray, katanya Mbak dulu artis film yang hebat, beneran ya? Kok gak lanjut?” tanyanya, matanya sesekali melirik gamis putih yang Nuray kenakan. Nuray tersenyum, menjawab, “Fajar, dulu Mbak salah jalan, sekarang alhamdulillah ketemu jalan yang bener.” Fajar mengangguk, tapi wajahnya menunjukkan ia masih ingin tahu lebih banyak. Nuray mengalihkan pembicaraan ke pelajaran mengaji, berusaha menjaga suasana tetap positif. Ia sadar remaja seperti Fajar sering penasaran karena cerita-cerita di internet.
Di acara pengajian malam, saat Nuray sedang menyiapkan proyektor, Pak Rahmat, seorang pedagang beristri, mendekatinya. “Mbak Nuray, dulu Mbak kan jagonya bikin adegan panas, sekarang kok milih gamis? Gak kangen?” tanyanya sambil tersenyum lebar, matanya menatap siluet payudara Nuray. Nuray menjawab dengan canda, “Pak, sekarang saya panasin hati buat ibadah, bukan yang lain.” Pak Rahmat tertawa, tapi tetap melirik sebelum berlalu. Nuray menggelengkan kepala, berusaha tak memikirkan tatapan itu. Ia berdoa dalam hati agar Allah menjaga hatinya dari rasa kesal.
2104Please respect copyright.PENANAMkcCvrE3TH
Godaan serupa terjadi saat Nuray sedang makan malam bersama jamaah setelah tarawih. Seorang pria bernama Pak Eko, yang dulu sering menonton film-filmnya, berkata, “Mbak, dulu Mbak bikin orang lupa diri, sekarang kok malah ngajar ngaji?” Matanya tak lepas dari lekuk tubuh Nuray meski tertutup gamis abu-abu. Nuray tersenyum, menjawab, “Pak, sekarang saya pengen bikin orang inget Allah, bukan lupa diri.” Pak Eko terkekeh, tapi tatapannya tetap nakal. Nuray mengalihkan perhatian ke ibu-ibu di sebelahnya, berusaha menjaga hati tetap tenang. Ia tahu pertanyaan seperti ini akan terus ada selama masa lalunya masih dikenal.
2104Please respect copyright.PENANA72714lgtTm
Saat Nuray sedang menyapu halaman masjid, seorang pemuda bernama Taufik, yang baru 20 tahun, mendekatinya. “Mbak Nuray, katanya Mbak dulu bikin film yang bikin orang deg-degan, apa sih rahasianya?” tanyanya dengan wajah polos, tapi matanya melirik pinggul Nuray. Nuray tertawa kecil, menjawab, “Mas, rahasianya sekarang cuma doa sama sabun wudu, biar hati bersih.” Taufik tersenyum, tapi tetap melirik sebelum berlalu. Nuray menghela napas, berusaha melihat sisi positif dari rasa ingin tahu pemuda itu. Ia tahu mereka tak selalu bermaksud buruk, tapi tatapan mereka kadang membuatnya tak nyaman.
2104Please respect copyright.PENANAbI8rlExtne
Di tempat wudu, saat Nuray sedang menggulung lengan gamisnya untuk berwudu, Pak Amin, seorang jamaah beristri, mendekatinya. “Mbak Nuray, dulu kan Mbak bikin pria pada tergila-gila, sekarang kok ganti profesi? Gak sayang?” tanyanya, matanya menatap siluet tubuh Nuray. Nuray menjawab dengan tenang, “Pak, sayang itu kalau hati gak tenang, sekarang saya bahagia di sini.” Pak Amin mengangguk, tapi tatapannya masih tak sopan. Nuray bergegas menyelesaikan wudu, berdoa agar diberi kesabaran menghadapi godaan seperti ini. Ia ingin tetap fokus pada peran barunya di masjid.
2104Please respect copyright.PENANACXrcFDK26a
Nuray sering menghadapi momen seperti ini saat berduaan dengan pria, baik di lorong sempit masjid maupun saat membantu acara. Pertanyaan mereka selalu serupa: tentang masa lalunya, keahliannya di depan kamera, dan mengapa ia berhenti. “Mbak, dulu kan Mbak bikin orang meleleh, gak kangen sorotan kamera?” tanya seorang jamaah bernama Pak Hadi saat mereka kebetulan bertemu di dapur masjid, matanya melirik gamis hitam Nuray. Nuray menjawab, “Pak, sekarang saya cuma pengen bikin Allah ridha, bukan kamera.” Pak Hadi tertawa, tapi tatapannya tetap tak lepas dari tubuhnya. Nuray belajar untuk menjawab dengan candaan ringan, menjaga suasana tetap harmonis.
2104Please respect copyright.PENANABH6jfibqm8
Meski godaan itu kadang membuatnya lelah, Nuray tak pernah menunjukkan kesedihan. Ia menganggap semua pria ini, dari remaja seperti Dika hingga bapak-bapak seperti Pak Slamet, sebagai keluarga seiman yang sedang diuji. “Nuray, sabar itu jihad terbesarmu,” kata Kiai Hasan suatu hari saat ia curhat tentang tatapan dan pertanyaan itu. Nuray mengangguk, bertekad untuk tetap ramah meski kadang ingin marah. Ia sering berdoa di sepertiga malam, memohon kekuatan untuk menjaga hati dan auratnya. Tatapan pria-pria itu, meski tak sopan, tak lagi membuatnya goyah seperti dulu.
2104Please respect copyright.PENANAsZog0Db1Ak
Di akhir Lebaran, Nuray semakin mantap dengan perannya di masjid, meski godaan terus datang. Ia tetap melayani umat, terutama wanita, dengan penuh keikhlasan, dan menjawab pertanyaan sensitif pria dengan sabar. “Mbak Nuray, dulu Mbak kan ratunya layar, sekarang jadi ratunya masjid, ya?” canda seorang pemuda bernama Ilham, matanya melirik siluet tubuhnya. Nuray tersenyum, menjawab, “Alhamdulillah, Mas, sekarang saya cuma budak Allah.” Ia tahu perjalanan taubatnya tak akan mudah, tapi ia merasa kuat dengan dukungan komunitas masjid. Nuray berjanji untuk terus melangkah, menjadikan setiap godaan sebagai pengingat untuk tetap rendah hati dan dekat dengan Allah.
ns216.73.216.13da2


