Nuray menghabiskan sisa Ramadan dan hari Lebaran di masjid kecil di pinggiran Jakarta, menjadi bagian dari tim yang mengurus kegiatan masjid. Ia membantu menyiapkan takjil, mengatur tempat untuk pengajian wanita, dan bahkan mengajar anak-anak mengaji dengan sabar. Pakaiannya kini selalu gamis longgar dan jilbab lebar, menutupi pesona tubuhnya yang dulu menjadi sorotan. Para ibu-ibu di masjid sering memujinya, “MasyaAllah, Nuray, cantiknya natural, akhlaknya juga lembut!” Mereka tak tahu bahwa Nuray pernah menjadi bintang film dewasa, hidup dalam dunia penuh gemerlap dan dosa. Nuray hanya tersenyum, bersyukur atas penerimaan mereka, dan memilih untuk tak menceritakan masa lalunya. Ia ingin dikenal sebagai Nuray yang baru, bukan bayang-bayang masa lalu.
2274Please respect copyright.PENANAsOeLaEdF75
Namun, tidak semua respons di masjid penuh kebaikan. Beberapa bapak-bapak, terutama yang mengenalinya dari dunia film, sering melemparkan godaan yang menjurus seksis. Saat Nuray sedang menyapu halaman masjid, seorang bapak paruh baya bernama Pak Dedi berkata, “Goyang lagi dong, Mbak Nuray, kayak di film dulu!” Teman-temannya tertawa, sementara Nuray hanya menunduk, tersenyum kecil, dan menjawab, “Bapak, sekarang saya cuma goyang buat salat, ya.” Ia belajar untuk tak tersinggung, menganggap mereka sebagai keluarga seiman yang mungkin belum paham perjuangannya. Kiai Hasan, yang melihat kejadian itu, mengingatkannya untuk tetap sabar dan menjaga hati. Nuray mengangguk, bertekad untuk tak membiarkan godaan itu menggoyahkan imannya.
2274Please respect copyright.PENANAbmWrEkQd0x
Di acara pengajian wanita, Nuray menjadi sosok yang disukai karena kelembutannya. Ia mendengarkan curhat ibu-ibu tentang anak-anak mereka, berbagi tips sederhana tentang mengaji, dan bahkan membantu menyiapkan hidangan untuk buka puasa bersama. “Nuray, kamu seperti malaikat di masjid ini,” kata Ibu Fatimah, seorang janda yang rutin menghadiri pengajian. Nuray tersipu, merasa tak pantas dipuji begitu, mengingat masa lalunya yang kelam. Ia hanya menjawab, “Saya juga sedang belajar, Bu, sama seperti Ibu semua.” Kehangatan komunitas wanita ini membuatnya merasa diterima, seolah masa lalunya tak pernah ada. Nuray mulai merasa bahwa masjid adalah rumah barunya.
2274Please respect copyright.PENANA2wpNzOTMXh
Namun, godaan dari beberapa jamaah pria tak pernah benar-benar berhenti. Saat Lebaran tiba, masjid mengadakan open house, dan Nuray sibuk membantu menyambut tamu. Seorang pria bernama Pak Joko, yang dulu penggemar film-filmnya, mendekatinya di dapur masjid. “Mbak Nuray, genjot lagi dong, kayak di video itu,” katanya sambil terkekeh, matanya nakal. Nuray, yang sedang membawa nampan kue, menjawab dengan tenang, “Pak, sekarang saya cuma ngejar ampunan Allah, bukan yang lain.” Jamaah lain yang mendengar tertawa, dan Pak Joko malah terlihat canggung. Nuray belajar mengalihkan godaan dengan candaan ringan, menjaga suasana tetap harmonis.
2274Please respect copyright.PENANAHyiakMt1wm
Di sela-sela kesibukannya, Nuray sering berbincang dengan Kiai Hasan tentang iman dan taubat. Kiai itu mengajarinya bahwa godaan adalah ujian, baik dari pria yang menggoda maupun dari kenangan masa lalunya. “Sabar itu kuncinya, Nuray. Orang-orang itu mungkin tak tahu perjuanganmu,” kata Kiai Hasan suatu sore. Nuray mengangguk, menceritakan bagaimana ia kadang merasa malu dengan masa lalunya yang masih dikenali orang. Kiai Hasan tersenyum, “Yang penting bukan apa yang mereka tahu, tapi apa yang Allah lihat di hatimu.” Kata-kata itu menjadi penguat bagi Nuray untuk tetap teguh di jalan barunya.
2274Please respect copyright.PENANAEA3yL1oxCv
Para ibu-ibu di masjid terus memuji Nuray, tak hanya karena kecantikannya, tapi juga karena ketekunannya belajar agama. Ibu Siti, yang mengelola dapur masjid, pernah berkata, “Nuray, kalau aku punya anak laki-laki, pasti aku jodohkan sama kamu!” Tawa mereka menggema, dan Nuray hanya tersenyum sambil berkata, “Doain aja, Bu, dapat yang sholeh.” Ia memang belum memikirkan pernikahan, tapi pujian itu membuatnya merasa dihargai sebagai manusia, bukan sekadar wajah cantik. Namun, ia juga sadar bahwa beberapa ibu-ibu mungkin takkan sesantai itu jika tahu masa lalunya. Nuray memilih fokus pada kebaikan yang bisa ia berikan sekarang.
2274Please respect copyright.PENANAZvYLVpKiOe
Saat malam takbiran, Nuray membantu menghias masjid dengan lampu-lampu kecil dan spanduk bertuliskan “Idulfitri 1446 H”. Beberapa pemuda masjid, yang juga tahu masa lalunya, kadang berbisik dan meliriknya dengan nakal. Salah satunya, Andi, pernah berkata, “Mbak Nuray, dulu kan jagonya bikin orang susah tidur, sekarang bikin orang pengen ke masjid!” Nuray tertawa kecil, menjawab, “Alhamdulillah, kalau ke masjid sih boleh, Mas!” Ia tak mau terpancing emosi, memilih merangkul mereka sebagai saudara seiman. Sikapnya yang ramah membuat banyak orang mulai menghormatinya, meski godaan masih ada.
Hari Lebaran menjadi momen penuh kehangatan bagi Nuray. Ia ikut salat Id di masjid, berdiri di saf wanita dengan jilbab putih yang membuat wajahnya tampak bersinar. Setelah salat, ia bersalaman dengan jamaah, mendengar ucapan “Selamat Idulfitri, Nuray, semoga Allah terima taubatmu.” Ia tersenyum lebar, menjawab, “Amin, mohon doanya, ya, Bu.” Namun, saat bersalaman dengan beberapa bapak, ada yang berbisik, “Cantiknya tetap sama, ya, kayak di layar.” Nuray hanya mengangguk sopan, menahan rasa tak nyaman, dan berdoa dalam hati agar diberi kekuatan. Ia ingin Lebaran ini menjadi simbol kemenangannya atas masa lalu.
2274Please respect copyright.PENANA1TJGgNUuzc
Nuray juga mulai berbagi cerita inspiratif di pengajian wanita, meski belum berani menceritakan masa lalunya secara terbuka. Ia berbicara tentang pentingnya taubat dan bagaimana Ramadan mengubah hidupnya. “Allah selalu buka pintu buat kita, asal kita mau melangkah,” katanya suatu malam, membuat beberapa ibu-ibu meneteskan air mata. Mereka melihat Nuray sebagai sosok yang rendah hati dan penuh semangat. Nuray merasa lega bisa berkontribusi, meski ia masih menyimpan rahasia besar tentang masa lalunya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari ia akan cukup kuat untuk berbagi kisahnya secara penuh.
2274Please respect copyright.PENANA5b55jbKO6t
Godaan dari beberapa jamaah pria terus datang, terutama saat Nuray membantu di acara sosial masjid. Pak Tono, seorang pedagang yang sering datang ke masjid, pernah berkata, “Mbak Nuray, kalau ke klub lagi, ajak-ajak dong!” Nuray menjawab dengan canda, “Pak, sekarang klub saya cuma di masjid, tiketnya gratis!” Tawa mereka memecah suasana, tapi Nuray tahu godaan itu tak selalu polos. Ia belajar untuk tak menganggap serius, menganggap mereka sebagai bagian dari ujian imannya. Kiai Hasan sering mengingatkannya, “Jaga hati, Nuray, tapi jangan menjauh dari umat.” Nuray mengangguk, berusaha tetap ramah meski kadang lelah.
2274Please respect copyright.PENANANtCRCs8aAz
Di tengah kesibukannya, Nuray menemukan kedamaian dalam rutinitas masjid. Ia bangun sebelum subuh untuk tahajud, membantu menyiapkan sahur untuk anak-anak yatim, dan ikut membersihkan masjid setelah pengajian. Para ibu-ibu semakin kagum, sering membawakan makanan untuknya sebagai tanda sayang. “Nuray, kamu bikin masjid ini lebih hidup,” kata Ibu Aminah, seorang penjual sayur. Nuray hanya tersenyum, berkata, “Saya yang belajar banyak dari Ibu-ibu semua.” Ia merasa seperti memiliki keluarga baru, meski masa lalunya masih seperti bayang-bayang yang kadang muncul.
2274Please respect copyright.PENANA7vfZ5V5Es4
Nuray juga mulai dekat dengan beberapa anak muda di masjid, yang melihatnya sebagai kakak. Mereka sering bertanya tentang agama, dan Nuray menjawab dengan sederhana, sesuai pengetahuannya yang masih terbatas. Namun, beberapa pemuda tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka pada kecantikannya. “Mbak Nuray, kalau ustadzah kayak Mbak, saya rajin ke masjid tiap hari!” canda salah satu pemuda bernama Rudi. Nuray tertawa, menjawab, “Yang penting rajin ibadahnya, Mas, bukan ngeliatin ustadzahnya!” Sikapnya yang santai membuat mereka semakin menghormatinya, meski Nuray tetap menjaga jarak.
2274Please respect copyright.PENANAZMIOizopg7
Saat Lebaran usai, Nuray memutuskan untuk tetap tinggal di masjid untuk beberapa waktu lagi. Ia ingin memperdalam ilmu agama sebelum memulai safari dakwah ke desa-desa, seperti rencananya. Kiai Hasan mendukung penuh, berkata, “Nuray, kamu punya potensi untuk menginspirasi banyak orang.” Nuray merasa terharu, tapi juga takut jika masa lalunya terbongkar. Ia berdoa setiap malam agar Allah memberinya keberanian untuk menghadapi apa pun. Meski godaan dari beberapa pria masih ada, ia merasa semakin kuat untuk menjalani hidup baru. Nuray ingin menjadi bukti bahwa taubat bisa mengubah hidup, tak peduli seberapa kelam masa lalu.
2274Please respect copyright.PENANAZeBcMLZ0Y4
Di masjid itu, Nuray menemukan makna keluarga yang sejati. Ia belajar bahwa iman bukan hanya tentang menjaga diri, tapi juga merangkul orang lain, termasuk mereka yang menggodanya. Para ibu-ibu terus mendukungnya, sementara Kiai Hasan menjadi ayah spiritual yang membimbingnya. Godaan dari bapak-bapak seperti Pak Dedi atau Pak Joko tak lagi membuatnya sedih; ia melihat mereka sebagai bagian dari ujian yang membuatnya lebih dekat pada Allah. Nuray, di usia 29 tahun, belum menikah, tapi ia merasa hidupnya kini penuh cinta dari komunitasnya. Ia tersenyum setiap kali berdiri di depan masjid, merasa seperti telah pulang ke rumah yang sebenarnya. Perjalanan taubatnya masih panjang, tapi Nuray tahu ia tak akan pernah sendiri lagi.
ns216.73.216.13da2


