Bab 5 Pengorbanan di Bukit
8192Please respect copyright.PENANAS0OrY0e9l8
8192Please respect copyright.PENANAByOIrDPNcm
Sejak tinggal di lokasi pembangunan pesantren baru di bukit, hidup Yudas perlahan berubah. Makan tiga kali sehari dari dapur proyek meski cuma nasi putih, sayur kolplay, dan tempe goreng yang garing bikin badannya yang dulu kurus kering mulai berisi, otot-ototnya lebih padat. Dia nggak lagi dekil Seperti waktu hidup di jalanan, mandi teratur di kamar mandi sederhana dari bambu dan terpal, ditambah baju bersih dari Haji Ismail kaos polos dan celana panjang bekas tapi layak bikin penampilannya jauh lebih rapi. Rambutnya yang dulu acak-acakan kini dipotong pendek rapi oleh tukang cukur keliling, dan kulit hitam legamnya yang tadinya kusam mulai cerah karena cukup istirahat dan makan teratur.
8192Please respect copyright.PENANATUEPdePJvn
Meski usianya udah 34, Yudas kelihatan lebih sehat, otot lengannya menonjol karena kerja keras motong rumput liar setinggi pinggang, tanam pohon mangga dan jambu, angkat batu dan karung semen yang bikin bahunya pegal tapi hatinya bangga.
8192Please respect copyright.PENANALD0XekL36S
Pagi itu, seperti biasa, Yudas lagi nyapu halaman di sekitar pondasi bangunan pesantren baru yang masih setengah jadi. Bukit itu sepi, cuma ada suara burung pipit nyanyi dan angin yang bertiup pelan, membawa bau tanah dan daun basah. Dia suka ketenangan ini, jauh dari bau lem menyengat dan keributan temen-temen lamanya. Di sini, dia ngerasa hidupnya mulai punya arti, meski kadang bayang-bayang Anita dan malam liar itu masih menghantui, bikin dadanya sesak rasa bersalah. Tapi dia usir pikiran itu, fokus ke sapunya yang berderit di tanah berdebu.
8192Please respect copyright.PENANAdNtm2imyGb
Tiba-tiba, siang itu suasana berubah drastis. Empat orang preman berbadan besar berwajah sangar dengan tato naga dan tengkorak di lengan, datang ke lokasi proyek dengan langkah congkak. Mereka bawa kayu pemukul, pisau lipat yang berkilat di bawah matahari, dan satu orang bawa golok kecil yang ujungnya tajam. Mereka langsung nyamperin gubuk kecil yang jadi kantor sementara proyek, tempat Ustazah Halimah, keponakan Haji Ismail, lagi ngurus administrasi karena pamannya ke kota buat rapat. Yudas, yang lagi nyapu di dekat pohon beringin, ngerasa darahnya mendidih begitu denger suara ribut. Dia ngintip, sapunya masih di tangan, badannya tegang.
8192Please respect copyright.PENANAwM4xnfwVwc
“Oi, Bu Ustazah! Keluar! Kami tahu lo ngurus proyek ini! Kasih ‘jatah’ duit, atau kami hancurin semuanya!” bentak preman yang paling gempal, badannya besar dengan kumis tebal dan suara menggelegar Seperti guntur. Dia ketuk-ketuk pintu gubuk pakai kayu pemukulnya, suara “tok tok tok” bergema di bukit yang biasanya tenang. “Ini perintah Pak Kades! Lo nggak punya izin bikin pesantren di sini! Dia bilang ini desa dia, lo nggak pantes bangun apa-apa tanpa restunya!”
8192Please respect copyright.PENANAIpl9WCHQhs
Ustazah Halimah, wanita alim di awal 30-an dengan hijab biru rapi dan wajah tenang, keluar dari gubuk dengan langkah mantap, meski matanya menunjukkan kecemasan yang dalam. Kulitnya putih bersih, matanya lembut tapi tegas, suaranya penuh wibawa meski ada getar ketakutan.
8192Please respect copyright.PENANAZupq1r0y6w
“Ini tempat ibadah, bukan tempat kalian buat rusuh! Kami punya izin resmi dari kabupaten. Pergi sekarang, atau saya panggil polisi!” katanya keras, tangannya memegang erat map administrasi, jari-jarinya gemetar tapi berusaha tegar.
“Polisi? Ha! Di bukit tengah hutan gini? Lo kira kami takut?” Preman lain, yang kurus dengan topi miring dan mata liar, nyengir sambil mainin pisau lipat di tangannya, cahaya matahari memantul di bilahnya. “Pak Kades bilang pesantren ini nggak pantes di desa kami! Lo kasih duit, atau kami bakar gubuk ini! Dan lo, Bu Cantik, bisa ikut kami malam ini, ha ha ha!” Tawanya kasar, penuh ejekan, bikin Halimah mundur setengah langkah, wajahnya pucat tapi matanya tetap menantang.
8192Please respect copyright.PENANAcQHC6kRYbx
Yudas nggak tahan lagi. Darahnya mendidih, otot-otot di lengan gemuknya menegang, matanya menyala penuh amarah. Dia tahu Ustazah Halimah orang baik sering kasih dia teh manis hangat dan nasihat kecil soal hidup dengan suara lembut Seperti angin sejuk.
8192Please respect copyright.PENANATgx4D7yKWE
Di matanya, Ustazah Halimah selain cantik, bukan cuma karena wajahnya yang bersih dan mata yang penuh kelembutan, tapi juga karena keteguhan hatinya. Yudas ngerasa ini saatnya nunjukin dia lebih dari cuma tukang kebun, mungkin juga buat ambil hati wanita itu yang bikin dadanya berdebar tiap ngobrol. Dia taruh sapunya dengan keras, suara “klak” di tanah berdebu, lalu jalan mendekati gubuk dengan langkah tegas, berdiri di depan Halimah Seperti benteng hidup, badannya yang agak gemuk berdiri kokoh.
8192Please respect copyright.PENANAazoX9zNfk2
“Eh, kalian! Ini tempat suci, bukan pasar malam buat malak! Pergi sekarang, atau gue hajar satu-satu!” bentak Yudas, suaranya menggelegar, gaya bicaranya kasar khas orang jalanan. Dadanya naik-turun cepat, adrenalin memompa, tangannya mengepal, siap berantem seperti di kampung dulu.
8192Please respect copyright.PENANAyoaYbLKDk2
Preman gempal itu ketawa nyaring, suaranya bergema Seperti hyena di hutan. “Hah, tukang kebun sok jagoan! Lo pikir lo siapa, hah? Minggir, atau lo kena duluan!” Dia maju cepat, ayunin kayu pemukulnya ke kepala Yudas, angin berdesir dari ayunan itu, penuh ancaman.
8192Please respect copyright.PENANAXqk3CwKJmD
Yudas nggak mundur. Dengan reflek dari pengalaman berantem di jalanan, dia tangkap kayu itu dengan tangan kiri, lengannya bergetar karena benturan keras, tapi dia tahan kuat. “Ini lo maksud?!” serunya, matanya membara. Dengan cepat, dia nendang perut si preman dengan sepatu botnya, tendangan keras bikin preman itu terjengkang ke belakang, napasnya tersengal, kayunya jatuh ke tanah berdebu. Yudas ngerasa jantungan, tapi juga ada kepuasan kecil dia masih punya tenaga buat lawan penutup comberan Seperti gini.
8192Please respect copyright.PENANAhQo6kS97yi
Dua preman lain langsung nyerang Seperti serigala kelaparan. Yang kurus maju dari samping, pisau lipatnya menusuk ke arah perut Yudas. “Mati lo!” jeritnya, suaranya penuh dendam. Yudas memutar badan cepat, pisau itu cuma sayat lengan kirinya, darah mulai menetes, bikin dia meringis tapi nggak nyerah. Dengan tangan kanan, dia tinju muka preman itu keras, suara “krak” tulang hidung pecah bergema, preman itu ambruk sambil pegang mukanya yang berdarah, matanya penuh syok dan sakit.
8192Please respect copyright.PENANAb5nOl9ZZK3
Preman ketiga, yang bawa golok kecil, ayunin senjatanya dari atas, mata golok berkilat di bawah matahari. “Lo berani ya!” bentaknya, suaranya penuh ancaman. Yudas duck cepat, golok itu cuma potong angin, lalu dia bangkit dan sundul kepala preman itu dengan dahinya sendiri, suara benturan keras bikin preman itu mundur stagger, darah mengalir dari dahinya, matanya buram karena pusing. Yudas ngerasa kepalanya nyut-nyutan, tapi adrenalin bikin dia lupa sakit.
Tapi, di tengah kegaduhan, preman keempat, yang tadi cuma nonton dengan senyum licik Seperti ular, tiba-tiba nyerang dari belakang. Pisau lipatnya nyelonong ke punggung Yudas, nancep dalam tepat di bawah bahu kanan. Rasa sakit Seperti api membakar tubuhnya, Yudas meraung kesakitan, “Aaargh!” Darah mengalir deras, membasahi kaosnya yang langsung berubah merah gelap, badannya goyah, lututnya gemetar. Dia ngerasa dunia berputar, tapi amarah dan keinginan lindungi Halimah bikin dia tetep berdiri.
8192Please respect copyright.PENANAkRywIRMnYd
Ustazah Halimah berteriak histeris, “astafirullah….Mas Yuda! Tidak!” Matanya membelalak, tangannya menutup mulut, badannya gemetar melihat darah yang mengucur. Dia ngerasa jantungan, takut kehilangan Yudas yang udah jadi penutup hidupnya tadi. “Ya Allah, lindungi dia!” batinnya, air mata mulai menetes di pipinya yang pucat.
Yudas goyah, tapi amarahnya meledak Seperti gunung api. Dengan tenaga yang entah dari mana mungkin dari ingatan malam kecelakaan atau dorongan buat ngebuktiin dirinya ke Halimah dia balik badan cepat, tangan kirinya rebut pisau dari punggungnya sendiri, sakitnya luar biasa tapi dia tahan. Dengan raungan, dia sodok preman itu dengan tinju kanan, diikuti tendangan keras ke lutut sampai preman itu jatuh berlutut, mukanya pucat. “Lo… nggak akan… sentuh dia!” seru Yudas, suaranya parau tapi penuh tekad, lalu hajar muka preman itu berkali-kali sampai bonyok, darah menetes dari hidung dan mulutnya. Yudas ngerasa badannya lelet-lelet lemas, tapi kepuasan melindungi Halimah bikin dia ngerasa hidup.
8192Please respect copyright.PENANAD0KZq5Nznv
Empat preman itu akhirnya babak belur, muka mereka bonyok, badan penuh luka dan darah, napas tersengal. Melihat Yudas tersungkur bersimbah darah, lututnya menyentuh tanah, mereka panik. “Anjir, kita keterlaluan! Dia bisa mati!panjang urusannya nanti Kabur, bro buruan kabur!” bentak preman gempal, suaranya sekarang penuh ketakutan, nggak lagi congkak. Mereka buru-buru lari terseok-seok, ninggalin kayu, pisau, dan golok di tanah berdebu, menghilang ke hutan bukit, mungkin takut kades mereka bakal disalahin kalau urusan ini sampai ke polisi.
8192Please respect copyright.PENANAdg41I1sCcv
Ustazah Halimah berlari ke Yudas, wajahnya pucat pasi, air mata mengalir deras di pipinya.
8192Please respect copyright.PENANAuUEN7r65SG
“Mas Yuda! Ya Allah, kamu kenapa?! Jangan mati, Mas!” Dia berjongkok, tangannya gemetar coba tekan luka di punggung Yudas dengan kain dari jilbabnya, darah merembes ke tangannya, hangat dan lengket. “Tahan, Mas! Aku panggil bantuan!” serunya, suaranya pecah, buru-buru ambil HP dari gubuk, telepon Haji Ismail dengan tangan gemetar, “Paman, cepat ke sini! Mas Yuda luka parah! Preman dari kades nyerang! Kirim ambulans!” Hatinya kacau, antara takut kehilangan Yudas dan marah pada kades yang bikin rusuh.
8192Please respect copyright.PENANAvbfLwDd9Dx
Yudas napasnya tersengal, dunia mulai buram, tapi dia coba tersenyum lemah ke Halimah, matanya hijau penuh keteguhan meski lemah. “Bu… Ustazah… nggak apa-apa… asal Ibu selamet… itu cukup…” Suaranya pelan, hampir nggak kedenger, tangannya menyentuh tangan Halimah sebentar, hangat di tengah dinginnya darah yang hilang. Dia ngerasa puas, meski sakit ini Seperti pisau nyanyi di tubuhnya dia udah buktiin dia bisa jadi lebih dari pemulung biasa.
Halimah menangis tersedu, memegang tangan Yudas erat, jari-jarinya gemetar. “Kamu bodoh, Mas! Ya allah Kenapa sih harus sampe begini?! Tapi… terima kasih… kamu sudah selamatin aku, bertahani, Mas!” katanya, suaranya penuh isak, hatinya hancur ngeliat Yudas bersimbah darah. Dia terus tekan luka itu, berdoa pelan dengan suara gemetar, “Ya Allah, selamatkan hamba-Mu yang baik ini…”
8192Please respect copyright.PENANANoj7F0jOs3
Tak lama, beberapa pekerja proyek datang berlari setelah denger keributan, wajah mereka penuh syok ngeliat Yudas berdarah-darah. Ambulans dari puskesmas terdekat nyampe dengan sirene meraung, paramedis buru-buru angkat Yudas ke brankar. Dia dibawa ke rumah sakit kecil di kota, badannya lemas tapi pikirannya tenang. Di tengah sakit, dia ngerasa udah buktiin sesuatu bukan cuma ke Halimah, tapi juga ke dirinya sendiri, bahwa dia punya hati yang lebih besar dari masa lalunya.
8192Please respect copyright.PENANApnNccsrldQ
Haji Ismail, yang buru-buru datang ke rumah sakit, memandang Yudas dengan mata penuh rasa terima kasih dan khawatir, wajahnya pucat tapi penuh kharisma. “Yuda, kamu orang hebat. Aku nggak akan lupa keberanianmu hari ini. Sembuh dulu, Nak, urusan preman dan kades itu biar aku tangani,” katanya, suaranya lembut tapi tegas, penuh wibawa, tangannya memegang bahu Yudas pelan. Dia ngerasa berutang lebih besar lagi ke Yudas, tapi juga khawatir soal konflik dengan kades yang ternyata punya agenda sendiri.
8192Please respect copyright.PENANAM2Eu70CLyH
Di ranjang rumah sakit, Yudas cuma angguk pelan, badannya lemah, luka di punggungnya dijahit dan dibalut, tapi hatinya penuh harapan. Dia ngerasa, meski nyawa hampir melayang, dia udah nemuin tempat di dunia ini, di antara orang-orang yang menghargainya. Tapi, tanpa dia sadari, keberaniannya ini mulai narik perhatian pihak-pihak lain di pesantren dan desa. Konflik dengan kades, yang ternyata nggak cuma soal izin tapi juga urusan politik dan duit, bakal bikin bukit yang tenang ini jadi medan perang baru.
ns216.73.216.13da2


