Bab 4 Perjalanan dan Harapan Baru
8764Please respect copyright.PENANAOOjkprpw9F
8764Please respect copyright.PENANAcJibq60ctn
Panik mulai menyerang Yudas Seperti badai di tengah malam. Gubuknya yang ala kadarnya, dipenuhi Aroma keringat dan Alkohol, tiba-tiba terasa sesak setelah Anita pingsan di tikar usang. Tubuh terkulai lemas seolah kehilangan tulang meskipun telah di goyang goyang, napasnya terdengar sangat lemah, wajahnya pucat penuh memar dan air mata kering. Budi dan Joko, dua temennya yang tadi penuh nafsu, buru-buru kabur ke kegelapan malam, ninggalin Yudas sendirian dengan kekacauan ini. “Anjir, ini gawat banget!” gumamnya, jantungan, keringat dingin ngucur di wajah tegasnya yang hitam legam. Jantungnya berdebar kenceng, pikirannya kacau balau kalau Anita bangun dan marah, atau lebih buruk, kalau polisi dateng, hidupnya bisa tamat.
8764Please respect copyright.PENANA5BvCSOmrOG
Dengan tangan gemetar, dia cek napas Anita masih ada, meski pelan banget, Seperti benang tipis. Dia buru-buru ambil air dari galon bekas,dan di percikkan ke wajah Anita yang pucat pasi, tapi wanita itu cuma menggumam pelan tanpa daya. Hati Yudas rasanya Seperti diremas dia tahu dia salah, tapi ketakutan bikin dia nggak bisa mikir jernih. “Gue nggak bisa stay di sini, bro. Ini bahaya,” batinnya, matanya liar nyari jalan keluar. Dia nggak tega ninggalin Anita gitu aja, tapi rasa takut menang. Dengan langkah gontai, dia keluar dari gubuk, ninggalin Anita yang mulai bersuara lemah, “Tolong… jangan…” di tengah kesunyian.
8764Please respect copyright.PENANAEWBqh0D3W5
Di luar, malam gelap pekat, cuma diterangin bulan separuh yang samar. Tiba-tiba, lampu truk kontainer menyapu jalan lintas, bikin jantungan Yudas reda sedikit. Dia melambai panik, tangannya goyang Seperti orang kesurupan. “Bang! Bang! Numpang, Bang!” teriaknya, suaranya serak penuh keputusasaan.
8764Please respect copyright.PENANAFdJr9DmBuG
Truk ngerem pelan, roda besarnya berderit di jalan berbatu. Sopirnya, pria tua dengan kumis tebal dan muka keriput, nengok dengan alis terangkat. “Mau ke mana, bro? Kok muka lo pucet banget, Seperti ketemu hantu?” tanyanya, suaranya serak karena rokok, tapi ada nada prihatin di situ.
8764Please respect copyright.PENANAB9me1uLauS
“Ke mana aja, Bang! Pokoknya bawa gue pergi dari sini! Gue lagi susah nih,” jawab Yudas cepat, lompat ke bak truk tanpa nunggu jawaban, badannya yang agak gemuk hampir kepleset. Truk melaju pelan, meninggalkan gubuk dan semua kekacauan malam itu. Yudas duduk di bak terbuka, angin malam menerpa wajahnya, bikin keringatnya dingin dan pikirannya sedikit tenang. Tapi hatinya masih kacau rasa bersalah karena ninggalin Anita bercampur ketakutan kalau polisi bakal ngejar. Di tengah angin yang menderu, dia tiba-tiba inget keluarga Haji Ismail dan ucapan Ummi Sarah soal Pondok Pesantren Al-Hidayah. “Mungkin… mungkin gue bisa ke sana,” batinnya, suaranya dalam hati penuh harap kecil. Itu satu-satunya tempat yang terlintas, tempat di mana dia pernah nolong orang, tempat yang mungkin bisa jadi pelarian atau awal baru.
8764Please respect copyright.PENANA86ntAWtCAM
Perjalanan dimulai dari situ, dan selama lima hari Yudas hidup Seperti gelandangan sejati. Hari pertama, truk Pengangkut sayur itu bawa dia ke kota tetangga, sekitar 100 kilometer jauhnya. Sopirnya, yang ngaku namanya Pak Maman, orang baik hati, nyodorin rokok kretek dan cerita panjang lebar soal hidupnya sebagai sopir lintas provinsi. “Hidup di jalan emang keras, Nak. Tapi lo masih muda, badan lo kuat, pasti bisa bangkit,” katanya, suaranya penuh pengalaman, sambil nyodorin nasi bungkus sisa yang udah dingin. Yudas cuma angguk, makan pelan sambil ngunyah telor asin yang keras, pikirannya melayang ke gubuknya, ke Anita, dan ke apa yang dia tinggalin. Malamnya, dia turun di pinggir jalan tol, tidur di bawah jembatan dengan karung sebagai selimut. Hujan deras malam itu, air menetes dari celah-celah beton, bikin kaos singletnya basah kuyup dan badannya kedinginan sampai pagi. Dia gemetar, tapi cuma bisa pasrah, mikir, “Ini hukuman gue kali, ya, Tuhan?”
8764Please respect copyright.PENANAwCr4vxFuSq
Hari kedua, Yudas numpang motor tukang ojek yang lewat, pria kurus dengan helm butut. “Ke mana, Bang?” tanya ojek itu, suaranya ramah. “Ke arah timur aja, Bang. Gue lagi cari tempat tinggal,” jawab Yudas, suaranya lelet karena capek. Mereka jalan sekitar 50 kilometer, lewat desa-desa kecil dengan sawah hijau dan anak-anak yang main layangan. Yudas cerita sedikit soal kecelakaan yang dia tolong, tapi sengaja skip bagian malam liar itu rasa bersalah bikin dia nggak bisa cerita jujur. Ojek itu kasih nasihat, “Lo harus cari kerja halal, Nak. Jangan Seperti gue, capek tapi recehan.” Yudas cuma nyengir kecut, hatinya berat. Siangnya, dia istirahat di warung kecil, makan mie instan pinjaman dari pemilik warung yang iba lihat penampilannya rambut acak-acakan, kaos kotor, dan muka dekil. Malamnya, dia tidur di emperan pasar, ditemani anjing liar yang nyari hangat, bulu kuningnya kusut Seperti nasib Yudas.
8764Please respect copyright.PENANAuZkfNiQXSh
Hari ketiga, perjalanan makin berat. Nggak ada kendaraan lewat, jadi Yudas jalan kaki belasan kilometer, kakinya lecet, sepatu bututnya bolong-bolong. Perutnya keroncongan, cuma keisi air mentah dari sungai kecil yang dia temuin. Dia cuci muka di air keruh itu, ngeliatin bayangan wajahnya yang cekung. “Ya Tuhan, tolongin gue, deh,” gumamnya pelan, meski dia Kristen, kebiasaan ngomong “Ya Allah” nyantol dari temen-temen muslim di kampung lama. Pikirannya melayang ke masa kecil, hidup sebatang kara tanpa keluarga, cuma bergantung pada diri sendiri. Dia ngerasa Seperti balik ke titik nol. Akhirnya, dia numpang truk sayur yang bawa dia ke kota lebih besar. Sopirnya cerewet, ngoceh soal politik dan harga BBM naik, tapi Yudas cuma dengerin sambil melamun, mikirin nasibnya kalau nggak ketemu Haji Ismail.
8764Please respect copyright.PENANALUkuNF0UDL
Hari keempat, Yudas mulai putus asa. Dia nemu pekerjaan sementara di pasar, angkat-angkat karung beras buat dapet recehan. Uangnya cuma cukup buat roti tawar dan air mineral, tapi perutnya tetep laper. Malamnya, dia kena razia satpol PP karena tidur di trotoar. “Pindah, Nak! Ini bukan tempat tidur!” bentak petugas, matanya galak. Yudas lari pelan, kakinya sakit, akhirnya tidur di belakang gudang kosong yang bau ikan busuk. Malam itu, mimpi buruk dateng Anita pingsan dengan muka penuh air mata, polisi ngejar dengan lampu sorot, dan gubuknya terbakar. Dia bangun pagi dengan badan pegal dan hati gelisah, tapi tetap lanjut, nggak mau nyerah.
8764Please respect copyright.PENANAZXYINuRknn
Hari kelima, Yudas akhirnya sampai di desa tempat Pondok Pesantren Al-Hidayah berdiri. Badannya kurus, mata cekung, penampilannya compang-camping kaos singlet kotor penuh noda minyak dan debu, celana pendek robek di lutut, rambut acak-acakan penuh keringat kering. Kulit hitamnya yang kasar makin legam karena matahari, badannya bau nggak ketulungan. Dia jalan mendekati gerbang pesantren, bangunan sederhana dengan tembok bata merah dan tulisan kaligrafi besar di atasnya, penuh aura khusyuk. Seorang ustaz muda, berjubah putih bersih dan berkopiah hitam, menatapnya curiga dari balik gerbang, matanya tajam. “Mau apa kamu ke sini? Ini bukan tempat buat gembel!” katanya ketus, tangannya menunjuk ke jalan, seolah Yudas hama yang harus diusir.
8764Please respect copyright.PENANArjQsmznrJ0
Yudas buru-buru angkat tangan, napasnya tersengal karena capek jalan jauh. “Ustaz, saya Yudas! Saya yang nolong Haji Ismail pas kecelakaan minggu lalu! Dia bilang cari dia di sini kalau butuh apa-apa!” katanya, suaranya serak dan penuh harap, tapi juga takut ditolak.
8764Please respect copyright.PENANA7hDw1CPHp8
Ustaz itu mengerutkan kening, nggak yakin sama sekali, matanya menyipit meneliti Yudas dari atas sampai bawah. “Haji Ismail? Dia nggak ada di sini sekarang. Lagian, lihat penampilanmu, Seperti penutup comberan! Pulang aja, jangan bikin ribut di sini!” Yudas mencoba jelasin lagi, cerita detail soal kecelakaan, grobak kayu, dan ambulans, tapi ustaz itu nggak mau denger, suaranya makin tinggi. “Sudah, pergi! Jangan ganggu ketenangan pesantren! Kalau nggak, gue panggil santri buat usir lo!” Yudas ciut, hatinya Seperti ditusuk, tapi dia nggak punya tenaga buat ngotot. Dia mundur pelan, kepalanya nunduk, mikirin gimana caranya bertahan di desa asing ini.
8764Please respect copyright.PENANA5cdKp5kiKb
Tiga hari berikutnya, Yudas mencoba bertahan hidup denga memulung. Dia nyari botol plastik, kaleng berkarat, dan besi tua di pinggir jalan, pasar desa, bahkan deket pagar pesantren. Pagi-pagi dia keliling dengan karung di bahu, siang istirahat di bawah pohon mangga yang teduh, malam tidur di bawah pohon atau di teras masjid yang sepi, badannya kedinginan tapi pikirannya teguh.
8764Please respect copyright.PENANAAGkzkeTmQQ
“Gue harus ketemu wak Haji Ismail. Dia bilang dia berutang sama gue, siapa tahu bisa bantuin gue beneran” gumamnya setiap malam, sambil ngunyah roti sisa yang dia temuin atau beli dari recehan jual rongsokan. Meski capek dan laper, ada semangat kecil di hatinya, Seperti bara yang nggak mau padam.
8764Please respect copyright.PENANA5xflIsojvn
Hari ketiga, saat Yudas lagi nyari rongsokan di dekat pasar, seorang anak laki-laki mendekatinya dengan langkah ragu-ragu. “Om! Om Yohan, ya?” suara anak itu tiba-tiba penuh semangat begitu sudah dekat. Yudas menoleh, dan langsung mengenali Hasan, anak Haji Ismail yang dia selamatkan malam itu. Wajah bocah itu cerah, matanya bulat penuh harap, nggak lagi ketakutan seperti dulu. “Hasan? Kamu di sini?” Yudas kaget, tapi lega banget, hatinya Seperti nemu air di tengah gurun.
8764Please respect copyright.PENANAbGLf1oiYzw
“Iya, Om! Aku inget Om! Muka Om sama Seperti yang nolong kami! Ayo, ikut aku ke rumah!” Hasan menarik tangan Yudas dengan antusias, nggak peduli penampilannya yang dekil dan bau keringat. Mereka jalan ke sebuah rumah sederhana di pinggir desa, nggak jauh dari pesantren, lewat jalan setapak yang teduh dengan pohon-pohon kelapa. Di sana, Ummi Sarah menyambut dengan mata berbinar, hijab birunya rapi seperti biasa, wajahnya penuh kehangatan. “Mas Yohan! Ya Allah, ternyata kamu! Kami cari-cari kamu kemarin, tapi nggak tahu alamatnya!” katanya, suaranya lembut dan penuh syukur, tangannya memegang dada penuh kelegaan. Aisyah, adik Hasan, berlari dari dalam rumah, memeluk kaki Yudas meski celananya robek dan kotor. “Om, makasih ya udah selamatin Bapak! Aku inget Om yang bawa grobak!” katanya, suaranya ceria, matanya berkilau.
8764Please respect copyright.PENANAeS1hvKlaCT
Tak lama, Haji Ismail keluar dari kamar, berjalan pelan dengan tongkat, wajahnya masih pucat tapi penuh kharisma. Bekas luka di dahinya masih merah, tapi dia tersenyum lebar begitu lihat Yudas, matanya penuh kehangatan dan kebijaksanaan. “Kamu… Yudas, ya? Orang yang selamatin kami malam itu!” katanya, suaranya lembut tapi tegas, penuh wibawa khas orang pesantren. “Aku ingat kamu, meski cuma sebentar sadar waktu itu. Terima kasih, Nak. Kalau nggak ada kamu, entah apa jadinya kami sekeluarga,” lanjutnya, tangannya memegang bahu Yudas dengan tulus, bikin Yudas merasa dihargai untuk pertama kalinya dalam waktu lama.
8764Please respect copyright.PENANAEwmKKa0l0H
Yudas cuma nyengir canggung, nggak biasa dipuji orang sehormat Haji Ismail. “Biasa aja, Pak. Saya cuma bantu apa yang bisa,” katanya ceplas-ceplos, tapi hatinya hangat, Seperti ada sinar masuk ke hidupnya yang gelap.
Haji Ismail menggeleng pelan, duduk di kursi teras kayu sambil ngajak Yudas ikut, gerakannya penuh kelembutan meski tubuhnya masih lemah. “Nggak biasa, Nak. Kamu selamatin nyawa kami. Aku berutang besar sama kamu,” katanya, suaranya penuh ketulusan. Dia lalu cerita panjang lebar dengan nada sopan dan penuh wibawa, kalau dia bukan tinggal di pesantren, cuma pengurus. Pesantren Al-Hidayah milik ayahnya dulu, dan sekarang dia jalankan sesuai amanah tetap ortodoks, fokus ngajar agama tanpa banyak perubahan modern. Tapi, dia punya mimpi besar bikin pesantren modern sekaligus pusat rehabilitasi narkoba di tanah murah di daerah perbukitan, agak jauh dari perkampungan biar tenang dan fokus. “Kami ingin bantu orang-orang yang tersesat, Nak, seperti yang pernah kamu tolong kami,” katanya, matanya penuh visi.
8764Please respect copyright.PENANAnWqcqK7qVc
“Aku mau tawarin kamu kerjaan, mas Yohan,” lanjut Haji Ismail dengan serius, suaranya mantap. “Kamu orang baik, aku percaya sama kamu. Mau nggak jadi tukang kebun di proyek pesantren baru itu? Gaji layak, tempat tinggal juga aku sediain di sana.”
8764Please respect copyright.PENANARsx45Rbe6v
Yudas kaget, matanya melebar, nggak nyangka tawaran dateng secepat ini setelah perjalanan panjang dan penuh penderitaan. “Tapi, Pak… saya nggak bisa baca Alquran. Saya… Kristen,” akunya jujur, suaranya pelan, takut ditolak, hatinya berdebar-debar.
8764Please respect copyright.PENANAHzlyAQ144b
Haji Ismail tersenyum bijak, matanya lembut penuh pengertian. “Nggak apa-apa, Nak. Agama beda, tapi hati kamu sudah buktikan kebaikan. Kerja kebun nggak perlu baca Alquran. Yang penting kerja keras dan jujur, itu aja,” katanya, suaranya hangat, bikin Yudas ngerasa diterima apa adanya.
8764Please respect copyright.PENANAzBkzQfueet
Yudas mengangguk pelan, hatinya hangat untuk pertama kalinya setelah hari-hari berat, Seperti ada harapan baru menyala di dadanya. Dia setuju, dan mulai hari itu, dia kerja sebagai tukang kebun di lokasi pembangunan pesantren baru. Tempatnya di bukit, udaranya sejuk tapi jauh dari keramaian, dikelilingi hutan kecil dan tanah luas yang masih mentah. Yudas kerja banting tulang motong rumput liar yang setinggi pinggang, tanam pohon mangga dan jambu, bantu angkat material bangunan seperti batu dan karung semen yang bikin bahunya pegal.
8764Please respect copyright.PENANASX0fNbLWaE
Meski capek, dia ngerasa hidupnya mulai punya tujuan. Dia tidur di gubuk sementara yang disediain, makan tiga kali sehari dari dapur proyek nasi sederhana dengan sayur kolplay dan tempe goreng, tapi rasanya Seperti pesta buat perutnya yang udah lama laper. Setiap malam, dia ngeliat bintang-bintang dari bukit, mikirin hidupnya yang dulu dan apa yang bakal dateng. Tapi di balik harapan baru ini, dia nggak tahu kalau pesantren ini menyimpan rahasia gelap konflik antar pengurus, intrik soal dana, dan bayang-bayang masa lalunya yang mungkin nyusul dia ke sini.
8764Please respect copyright.PENANAf5IFRBniXo
8764Please respect copyright.PENANAS44ptmYqIr
https://victie.com/novels/yudas_memasuki_pesantren8764Please respect copyright.PENANAJfMJffdVsF
Jangan Lupa Follow Ya Guys Dan Cek Karya Gila DSASAXI Lainnya
8764Please respect copyright.PENANAYIHGOCl479
8764Please respect copyright.PENANAy9zt8oeoof


