Bab 2: Perjuangan di Tengah Malam
10375Please respect copyright.PENANA8uvWe5KBtI
10375Please respect copyright.PENANAN3VGT2LZCl
Yudas berdiri di pinggir jalan lintas, napasnya masih ngos-ngosan setelah melihat mobil itu terjun ke jurang. Wajahnya yang tegas, berkulit hitam legam akibat sering terpapar sinar matahari, basah oleh keringat. Badannya yang agak gemuk, hasil dari kerja keras memulung rongsokan seharian, sedikit gemetar karena syok. Di depannya wak Haji tergeletak lemas, darah mengucur dari dahinya yang robek, sementara dua anak kecilnya meringkuk ketakutan, tubuh mereka bergetar. Di sisi lain, seorang wanita berhijab yang kelihatannya istri wak Haji memegang kakinya yang terkilir, wajahnya pucat pasi menahan sakit. Malam sudah gelap, dan jam di HP butut Yudas menunjukkan pukul 02:45. Jalan lintas ini sepi, tidak ada mobil atau motor yang lewat, apalagi di jam segini. Yudas merasa ketakutan, jika mereka tidak segera dibawa ke puskesmas, wak Haji bisa kehilangan nyawanya.
10375Please respect copyright.PENANAJKnv3eZz3v
Wanita berhijab itu, yang kemudian Yudas tahu bernama Ummi Sarah, memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Tetapi, Mas... suami saya... beliau belum sadar. Kaki Aisyah dan Hasan juga sulit untuk berjalan. Saya... kaki juga saya sangat sakit,” katanya dengan suara gemetar, sopan dan lembut seperti orang pesantren. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha tegar di depan anak-anaknya, mengusap air mata pelan.
10375Please respect copyright.PENANA7ujcNWgQSA
10375Please respect copyright.PENANAvafIUQirAE
“Ya sudah, tidak apa-apa, Bu! Saya bantu angkat. Pokoknya kita gerak dulu ke puskesmas,” jawab Yudas lugas, berusaha menenangkan. Dia langsung mengangkat Haji Ismail yang pingsan, badannya berat, tapi Yudas tidak sempat memikirkan rasa lelah. Dengan hati-hati, dia meletakkan pria tua itu di grobak, menyandarkan kepalanya ke sisi kayu agar tidak goyang-goyang. Ummi Sarah, meski pincang, memaksa diri untuk membantu anak-anaknya naik. Aisyah, gadis kecil berusia tujuh tahun, masih menangis pelan, hidungnya meler. Sementara Hasan, yang tampaknya sepuluh tahun, hanya diam, matanya kosong menatap bapaknya, tangannya gemetar memegang baju Ummi Sarah.
“Eh, Bu, Pak,ama anak-anak, naik ke grobak saya dulu yuk!” seru Yudas ceplas-ceplos, suaranya serak karena kelelahan. Grobak kayu tuanya, yang biasa dipakai untuk menarik sampah dan rongsokan, terparkir dekat gubuknya. Cukup besar untuk memuat mereka semua, meski pasti akan sesak. “Jalan ke puskesmas tidak jauh, cuma dua kilo, tapi kita harus cepat!”
10375Please respect copyright.PENANAPc84r09dOu
“Om, Bapak mati ya?” tanya Hasan tiba-tiba, suaranya kecil dan penuh ketakutan, mata bulatnya menatap Yudas.
10375Please respect copyright.PENANAf8pkSjZixs
Yudas menoleh, hatinya merasa ngeri krena dia merasa takut kalo ada yang mati di dekat gubuknya dia takut di usir . “Eh, tidak kok, Nak! Bapak cuma pingsan. Kita bawa ke dokter, nanti Bapak bangun lagi, oke?” katanya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya sendiri. Sebagai orang Kristen yang biasa hidup susah, dia tidak suka basa-basi, tapi kali ini dia lembutkan suaranya untuk anak kecil. Dia mulai menarik grobak, roda kayunya berderit di jalan berbatu. Setiap langkah terasa berat, apalagi dengan empat orang di belakang. Keringatnya mengucur deras, membasahi singlet lusuhnya yang bolong-bolong, dan celana pendeknya yang penuh debu.
10375Please respect copyright.PENANAXbLseK28HS
Selama perjalanan, Ummi Sarah berusaha menenangkan anak-anaknya dengan suara halus. “Aisyah, Hasan, mari kita baca doa bersama Ummi, ya? Kita mohon perlindungan Allah untuk Bapak,” katanya, suaranya lembut tapi rapuh, penuh keikhlasan khas orang pesantren. Dia memimpin doa, suara mereka pelan bercampur isak tangis. Yudas, yang Kristen, tidak paham isi doanya, tapi dia ikut diam, merasakan ada kekuatan aneh dalam nada mereka yang penuh harap. Dalam hatinya, dia diam-diam berdoa juga, ala gaya Kristennya: “Tuhan, tolonglah mereka ya...”
10375Please respect copyright.PENANAc18UXriepj
“Mas... boleh saya tahu nama Mas?” tanya Ummi Sarah di tengah jalan, mencoba mengalihkan perhatian dari sakit di kakinya, suaranya tetap sopan meski gemetar.
10375Please respect copyright.PENANAWdtdbnBkas
“Yudas, Bu. Panggil saja Yohan, santai,” jawab Yudas singkat, fokus menarik grobak. Keringatnya membasahi wajah tegasnya, tapi dia tidak peduli.
10375Please respect copyright.PENANAWdtVsih4XU
“Terima kasih banyak, Yohan... Jika tidak ada Mas, entah apa yang akan menimpa kami,” kata Ummi Sarah, suaranya penuh syukur tulus. “Mas sungguh orang yang baik. Padahal kita belum saling mengenal.”
10375Please respect copyright.PENANA93gJpbxJb5
Yudas hanya tersenyum kecil, bahunya naik-turun karena capek. “Ah, biasa saja, Bu. Orang susah harus saling tolong. Kristen atau Islam, sama saja, yang penting kita membantu orang yang membutuhkan,” katanya ceplas-ceplos, tanpa berpikir panjang.
10375Please respect copyright.PENANAAfLNBQcZLL
Tiba-tiba, Haji Ismail menggumam pelan dari grobak, badannya bergerak lemas. “Sarah... anak-anak...” Matanya setengah terbuka, menatap Yudas yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek. “Kamu... siapa...” suaranya lemah, hampir tidak terdengar, tapi nada sopannya masih ada.
10375Please respect copyright.PENANAVgo8eKjCQ0
“Pak, tenang saja, Pak! Kita sedang dalam perjalanan ke puskesmas!” Yudas buru-buru menjawab, tapi sebelum Haji Ismail bisa melanjutkan, pria itu pingsan lagi. Ummi Sarah menahan tangis, memegang tangan suaminya erat-erat, bibirnya bergetar membaca doa pelan.
10375Please respect copyright.PENANAQWW0DRapYh
Setelah setengah jam berjuang di jalan berbatu yang membuat kaki Yudas pegal, grobak akhirnya sampai di puskesmas kecil di kampung terdekat. Bangunan sederhana itu hanya diterangi lampu neon yang kedip-kedip, seolah sedang ngantuk. Yudas berteriak memanggil petugas, “Tolong! Ada kecelakaan! Cepat dong!”
10375Please respect copyright.PENANAZqBRdy4Mfm
Seorang perawat muda buru-buru keluar, diikuti dokter jaga yang wajahnya masih kusut karena baru bangun. Mereka langsung mengangkat Haji Ismail ke ruang darurat, sementara Ummi Sarah dan anak-anaknya dibawa ke ruang tunggu. Yudas membantu mengangkat Haji Ismail ke brankar, badannya yang agak gemuk membuatnya ngos-ngosan, lalu mundur pelan. Dia ambruk di bangku plastik, napasnya masih kembang-kempis, badannya basah kuyup keringat.
10375Please respect copyright.PENANA8G3dQ8gwvU
“Mas Yohan, silakan duduk di sini dulu,” kata seorang warga yang kebetulan ada di puskesmas, mengenali Yudas sebagai pemulung yang sering lewat kampung. “Mas luar biasa, bawa orang segitu jauh hanya dengan grobak. Mas Kristen, bukan? Tapi menolong orang Muslim seperti ini, salut saya.”
10375Please respect copyright.PENANAoBPhYLfuV8
Yudas hanya mengangguk, capek tapi lega. “Ah, orang susah mah sama saja, Bang. Kristen, Islam, yang penting kita saling tolong. Nggak usah banyak cingcong,” katanya pelan, gaya bicaranya tetap ceplas-ceplos meski sedang lemas.
10375Please respect copyright.PENANAKBianrBD7d
Di ruang tunggu, Ummi Sarah duduk dengan Aisyah dan Hasan di pangkuannya. Dia menatap Yudas dari kejauhan, matanya penuh terima kasih. “Mas Yohan, tadi... sopir kami... beliau tidak selamat, ya?” tanyanya, suaranya bergetar tapi tetap sopan.
10375Please respect copyright.PENANAue8V1WI4yi
Yudas menunduk, perasaan bersalah langsung menyerang. “Maaf banget, Bu... Saya tidak sempat... mobilnya keburu jatuh...” Suaranya tercekat, dia masih ingat bunyi mengerikan saat mobil itu menghantam dasar jurang, membuat bulu kuduknya merinding.
10375Please respect copyright.PENANAE7x3wObJ3F
Ummi Sarah mengangguk pelan, air matanya jatuh. “Mas sudah berusaha sebaik mungkin. Jika tidak ada Mas, mungkin kami semua tidak selamat. Allah pasti akan membalas kebaikan Mas dengan yang lebih baik.”
10375Please respect copyright.PENANABE06QT2mgJ
Tidak lama kemudian, suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan. Petugas puskesmas bilang Haji Ismail perlu dirujuk ke rumah sakit besar di kota karena luka kepalanya serius. Yudas membantu memindahkan Haji Ismail ke ambulans, sementara Ummi Sarah dan anak-anaknya ikut naik. Sebelum ambulans berangkat, Ummi Sarah menoleh ke Yudas. “Mas Yohan, jika nanti kami sudah pulih, silakan cari kami di Pondok Pesantren Al-Hidayah, ya. Kami berutang nyawa kepada Mas.”
10375Please respect copyright.PENANA9LpRYtaiGk
Yudas hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Setelah ambulans pergi, dia ambruk lagi di bangku, badannya remuk redam. Perawat yang tadi menangani Haji Ismail mendekat, membawa segelas teh manis hangat. “Istirahat dulu, Mas. Mas hebat sekali tadi. Orang-orang di kampung ini mengenal Mas sebagai pemulung yang baik hati.”
10375Please respect copyright.PENANAnwo8WoBJVI
Yudas tersenyum tipis, minum teh itu pelan-pelan, rasanya manis membuat tenaganya sedikit pulih. Di tengah kelelahan yang menggigit tulang, dia tidak menyadari bahwa malam itu akan menjadi awal dari petualangan besar. Pertemuan dengan keluarga Haji Ismail akan membawanya masuk ke dunia pondok pesantren yang penuh intrik, rahasia kelam, dan godaan-godaan yang bisa mengguncang hidupnya yang sederhana ini. Siapa sangka, dari menarik grobak malam-malam, dia akan terlibat dalam sesuatu yang lebih dalam, di mana iman, persahabatan, dan konflik akan menguji siapa dirinya sebenarnya.
10375Please respect copyright.PENANAGxZdZlbzLw
10375Please respect copyright.PENANAKteJD0VZlG
Jangan Lupa Follow Dan Cek Karya Lainnya
ns216.73.216.13da2


