Pagi Selasa, Reza berangkat ke kantor dengan hati masih dipenuhi kebingungan soal ngidam Nadia yang tak biasa. Di sela-sela rutinitasnya sebagai manajer senior, pikirannya terus melayang pada ucapan Nadia yang ingin dipeluk dan dimanja oleh laki-laki kulit hitam. Dengan tekad untuk memenuhi keinginan istrinya—meski dengan rasa cemburu yang menggelitik—Reza memutuskan untuk mencari tahu apakah ada rekan kerja di kantornya yang mungkin sesuai dengan kriteria ngidam Nadia. Ia berjalan menyusuri lorong kantor, diam-diam memperhatikan wajah-wajah koleganya, berharap menemukan seseorang dengan kulit hitam legam seperti yang Nadia bayangkan, mungkin dari Ambon atau Papua seperti yang disebut istrinya.
2696Please respect copyright.PENANAEbdJO0Hyol
Namun, harapannya segera pupus. Kantor tempat Reza bekerja didominasi oleh karyawan keturunan Tionghoa, dengan kulit putih mulus yang sangat kontras dengan gambaran Nadia. Rekan-rekannya seperti Dedi, yang sempat ia pikirkan kemarin, ternyata hanya berkulit sawo matang, bukan hitam legam seperti yang Nadia inginkan. Reza bahkan sempat melirik ke bagian IT, berharap ada karyawan baru yang mungkin cocok, tapi hasilnya nihil. Ia duduk di mejanya, menghela napas, merasa seperti detektif amatir yang gagal menemukan petunjuk. “Ini ngidam apa, sih, Nad? Susah banget,” gumamnya, sambil membuka laptop untuk menyelesaikan laporan, meski pikirannya masih sibuk mencari solusi.
2696Please respect copyright.PENANASFXBHDMnIc
Saat jam makan siang tiba, Reza berjalan ke kantin kantor, masih dengan wajah penuh keraguan. Ia memesan nasi goreng dan duduk sendirian, mencoba merancang rencana. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sosok yang berdiri di dekat pintu masuk kantor: Pak Yos, satpam perusahaan yang berasal dari Papua. Badan Pak Yos tegap, kekar, dengan kulit hitam legam yang mengilap di bawah sinar matahari. Reza tiba-tiba teringat bahwa Pak Yos memang dikenal ramah dan akrab dengan semua karyawan, meski penampilannya yang gagah dan sedikit menyeramkan konon menjadi alasan ia diangkat sebagai satpam. “Bingo,” pikir Reza, meski hatinya masih diliputi rasa waswas.
2696Please respect copyright.PENANAw5NffHu6LE
Reza menunggu sampai kantin sedikit sepi, lalu mendekati Pak Yos yang sedang istirahat sambil minum teh manis. Dengan hati-hati, ia membuka percakapan. “Pak Yos, apa kabar? Sibuk hari ini?” tanyanya, berusaha terdengar santai. Pak Yos, dengan senyum lebar yang memperlihatkan giginya yang putih, menjawab, “Biasa, Pak Reza, jaga pos aja. Ada apa, kok tiba-tiba ngobrol?” Reza menarik napas dalam, merasa sedikit malu tapi tetap melanjutkan. “Eh, Pak, ini soal istri saya. Dia lagi hamil, ngidam sesuatu yang… agak aneh,” katanya, suaranya pelan agar tak ada yang mendengar.
2696Please respect copyright.PENANA9YwuzHfVEB
Dengan wajah serius tapi penuh keberanian, Reza menjelaskan secara detail apa yang Nadia inginkan: pelukan dan sedikit perhatian manis dari laki-laki kulit hitam, seperti yang ia lihat di iklan parfum. Ia bahkan menyebutkan bahwa Nadia tak masalah apakah orangnya dari Ambon, Papua, atau daerah lain, asal sesuai dengan bayangannya. Pak Yos, yang awalnya mendengarkan dengan ekspresi bingung, tiba-tiba membelalakkan mata. “Hah? Serius, Pak? Istri Bapak ngidam gitu?” tanyanya, suaranya campur antara kaget dan geli. Reza mengangguk, wajahnya memerah. “Iya, Pak. Saya juga bingung, tapi ya namanya ngidam hamil. Bapak tahu sendiri, istri hamil kadang minta yang aneh-aneh,” katanya, berusaha mencairkan suasana.
2696Please respect copyright.PENANAAvPH9ZISRo
Untuk meyakinkan Pak Yos, Reza mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Nadia, yang tampak cantik dengan gaun hamilnya. “Ini istri saya, Pak. Dia cuma pengen pelukan sebentar, dimanja sedikit, nggak aneh-aneh. Bapak mau bantu nggak?” tanya Reza, setengah memohon. Pak Yos menatap foto itu, lalu tersenyum lebar. “Wah, cantik banget istri Bapak, Pak! Kalau cuma pelukan, saya sih oke, tapi… apa nggak cemburu, Pak?” tanyanya, setengah bercanda. Reza tertawa kecut, “Cemburu sih, Pak, tapi demi istri, apa boleh buat. Saya bayar, deh, 500 ribu, gimana?” Pak Yos, setelah berpikir sejenak, mengangguk. “Deal, Pak. Tapi pelukan doang, ya, nggak lebih,” katanya, sambil terkekeh.
2696Please respect copyright.PENANAu9Y1AMJTkg
Reza merasa campur aduk antara lega dan cemas. Ia tak menyangka solusi ngidam Nadia akan ditemukan di satpam kantornya sendiri. Sepanjang sisa hari kerja, ia tak bisa fokus penuh. Setiap kali melihat Pak Yos berpatroli, ia membayangkan skenario aneh di kepalanya: Nadia dipeluk Pak Yos, lalu tertawa bahagia, sementara ia berdiri di samping dengan wajah cemburu tapi berusaha tersenyum. “Ini gila,” gumamnya, tapi ia tahu ia tak punya pilihan lain. Nadia terlalu berarti baginya, dan ngidam ini, meski absurd, harus ia penuhi demi kebahagiaan istrinya.
2696Please respect copyright.PENANA2YiTkcmJAR
Sore itu, setelah jam kerja selesai, Reza mengajak Pak Yos pulang bersamanya. Pak Yos masih mengenakan seragam satpamnya, lengkap dengan topi dan sepatu bot yang membuatnya terlihat semakin gagah. Di mobil, Reza mencoba menjelaskan lagi situasinya agar tak ada kesalahpahaman. “Pak Yos, pokoknya pelukannya biasa aja, ya. Bilang sesuatu yang manis, kayak, ‘Kamu cantik’ atau apa gitu, tapi jangan lebay. Istri saya lagi hamil, hormannya lagi kacau,” katanya, setengah bercanda. Pak Yos hanya mengangguk sambil tersenyum. “Tenang, Pak. Saya profesional. Lagian, saya juga punya istri, tahu kok caranya bikin orang senang tanpa macam-macam,” jawabnya, membuat Reza sedikit lega.
2696Please respect copyright.PENANAEsf3TdJjaz
Perjalanan ke rumah terasa panjang bagi Reza. Ia membayangkan reaksi Nadia—apakah ia akan tertawa, senang, atau malah berubah pikiran? Ia juga tak bisa menghilangkan rasa cemburu yang menggelitik, meski ia tahu Pak Yos adalah orang baik yang hanya membantu. Di dalam mobil, Pak Yos bercerita tentang keluarganya di Papua, tentang anak-anaknya yang masih kecil, membuat suasana sedikit lebih santai. Tapi Reza tetap tak bisa sepenuhnya rileks, apalagi ketika ia membayangkan Nadia berbinar-binar melihat Pak Yos.
2696Please respect copyright.PENANAi70kSemCBm
Sesampainya di rumah, Reza membuka pintu dengan hati berdebar. Nadia sedang di ruang tamu, duduk di sofa sambil menonton serial favoritnya, masih tampak cantik meski hanya mengenakan daster sederhana. “Mas, pulang!” sapa Nadia, berlari kecil untuk memeluk Reza. Lalu matanya tertuju pada Pak Yos, yang berdiri di belakang Reza dengan seragam satpamnya. “Ini siapa, Mas?” tanya Nadia, wajahnya penuh rasa ingin tahu. Reza menarik napas dalam, lalu berkata, “Nad, ini Pak Yos, satpam di kantor. Dia… eh, orang yang mungkin bisa bantu sama ngidam kamu.” Nadia membelalakkan mata, lalu tersenyum lebar, seolah tak percaya.
2696Please respect copyright.PENANAlrFLBKRdrb
“Serius, Mas? Pak Yos mau peluk aku?” tanya Nadia, suaranya penuh antusiasme. Pak Yos, dengan wajah ramah, mengangguk. “Iya, Bu. Pak Reza bilang Ibu ngidam pelukan, saya bantu deh. Tapi cuma pelukan biasa, ya,” katanya, sambil tersenyum. Nadia tertawa kecil, lalu menatap Reza dengan mata penuh kasih. “Mas, kamu terbaik banget, sih. Aku tahu kok ini susah buat kamu,” katanya, memeluk Reza erat sebelum beralih ke Pak Yos. Reza hanya bisa tersenyum kecut, berusaha menahan cemburu yang menyelinap.
2696Please respect copyright.PENANAzpyMjW4Wyv
Pak Yos, dengan sikap profesional tapi hangat, membuka tangannya dan memeluk Nadia dengan hati-hati, seperti memeluk adik sendiri. “Ibu cantik banget, pasti bayinya juga ganteng kayak Bapak,” katanya, sesuai instruksi Reza untuk mengatakan sesuatu yang manis. Nadia terkikik, wajahnya berseri-seri. “Makasih, Pak Yos! Ini beneran bikin aku seneng,” katanya, lalu melepaskan pelukan dan kembali ke pelukan Reza. Reza, meski lega melihat Nadia bahagia, tak bisa menahan rasa cemburu kecil di hatinya.
2696Please respect copyright.PENANAsS2w1b0pr5
Malam itu, setelah Pak Yos pulang—dengan 500 ribu di sakunya dan ucapan terima kasih dari Reza—Nadia tak henti-hentinya memuji suaminya. “Mas, kamu beneran sayang banget sama aku. Aku tahu ini aneh, tapi makasih ya udah usaha,” katanya, memeluk Reza erat di sofa.
ns216.73.216.125da2