Hari Senin tiba, dan seperti biasa, rumah kecil Reza dan Nadia dipenuhi aroma kopi dan roti panggang yang disiapkan Nadia untuk sarapan. Meski sedang hamil tiga bulan, Nadia tetap setia dengan rutinitasnya: menyiapkan sarapan untuk Reza, memilihkan kemeja dan dasi yang rapi, serta mengecek tas kerjanya agar tak ada yang tertinggal. Pagi itu, Nadia tampak cantik seperti biasa, meski tanpa riasan dan rambutnya masih sedikit acak-acakan karena belum mandi. Gaun hamil sederhana yang ia kenakan tak bisa menyembunyikan pesonanya, dan Reza, seperti selalu, mencuri-curi pandang sambil tersenyum kagum. “Cantik banget istriku,” gumamnya dalam hati, meski pikirannya masih dihantui oleh “ngidam tak biasa” yang diucapkan Nadia kemarin di syukuran keluarga.
2796Please respect copyright.PENANAQValrO7coz
Mereka duduk berdua di meja makan, sarapan dengan roti panggang, telur mata sapi, dan segelas jus jeruk, sambil menonton berita pagi di TV. Suasana hangat seperti biasa, tapi Reza tak bisa menahan rasa penasarannya. Dengan hati-hati, ia melirik Nadia dan bertanya, “Sayang, soal ngidam kemarin… masih pengen pelukan sama laki-laki kulit hitam itu?” Nadia, yang sedang menggigit rotinya, langsung menoleh dengan mata berbinar dan semangat membara. “Masih, Mas! Malah tambah pengen, loh,” katanya, suaranya penuh antusiasme, seolah sedang membicarakan rencana liburan. Reza nyaris tersedak jusnya, wajahnya memerah antara kaget dan cemas.
2796Please respect copyright.PENANAUsWJtYNNyn
“Waduh, gawat dong,” celetuk Reza, berusaha menutupi kepanikannya dengan nada bercanda. Nadia mengerutkan kening, wajah polosnya berubah sedikit kecewa. “Kok gawat, Mas? Emangnya aku minta yang aneh-aneh? Cuma pelukan sama dimanja, kok,” katanya, nadanya sedikit cemberut tapi tetap manja. Reza buru-buru mengelus tangan Nadia, tak ingin istrinya sedih. “Bercanda, sayang. Mas cuma… kaget aja. Tapi tenang, Mas akan usahain buat bikin kamu seneng,” katanya, meski dalam hati ia masih bingung setengah mati bagaimana caranya memenuhi ngidam ini tanpa membuat dirinya sendiri gila.
Setelah sarapan, Reza mencium kening Nadia, mengambil tas kerjanya, dan berangkat ke kantor dengan mobil. Di perjalanan, hatinya waswas meninggalkan Nadia sendirian di rumah. Bukan karena ia tak percaya pada istrinya—ia tahu Nadia setia dan cuma sedang dilanda hormon kehamilan yang aneh—tapi lebih karena ia tak tahu bagaimana menangani situasi ini. Gambaran Nadia dipeluk laki-laki lain, meski cuma “pelukan ngidam,” membuatnya gelisah. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan memutar radio, tapi lagu romansa yang diputar malah membuatnya semakin cemas. “Ya Tuhan, apa aku harus cari aktor bayaran buat peluk istriku?” gumamnya, setengah bercanda pada dirinya sendiri.
2796Please respect copyright.PENANAoKo70OmbBS
Sesampainya di kantor, Reza mencoba fokus pada pekerjaannya sebagai manajer senior, tapi pikirannya terus kembali ke ngidam Nadia. Di sela-sela rapat, ia mencuri waktu untuk bertanya pada dua rekan kerjanya, Mira dan Susan, yang sudah pernah hamil. Dengan polos, ia mendekati mereka di pantry saat jam istirahat. “Mir, Sus, kalian dulu pas hamil pernah ngidam apa aja, sih?” tanyanya, berusaha terdengar santai. Mira menjawab sambil menuang kopi, “Oh, aku dulu ngidam makan rujak tengah malam. Suamiku sampai lari ke pasar pagi-pagi.” Susan menimpali, “Kalau aku sih pengen es krim cokelat, tapi harus merek tertentu. Kenapa, Rez, Nadia ngidam apa?”
2796Please respect copyright.PENANAwk6uMhQVZd
Reza menarik napas dalam, lalu dengan wajah serius tapi sedikit malu-malu, berkata, “Nadia bilang dia ngidam… pelukan sama laki-laki kulit hitam. Katanya pengen dimanja gitu, entah dari Ambon, Papua, atau apa.” Seketika, Mira dan Susan terdiam, lalu meledak dalam tawa terbahak-bahak. Mira sampai memegang perutnya, sementara Susan menepuk meja pantry. “Serius, Rez? Pelukan? Bukan makanan?” tanya Mira, masih tergelak. Reza, yang berharap mendapat saran bijak, malah makin bingung. “Iya, serius! Ini beneran ngidam, katanya. Kalian nggak gitu pas hamil?” tanyanya, wajahnya memerah.
Susan, yang akhirnya bisa mengendalikan tawanya, menggeleng. “Reza, ngidam itu kadang aneh, tapi ini… level baru, deh. Tapi serius, mungkin Nadia cuma lagi kena efek hormon. Aku dulu juga pernah pengen denger suara penyanyi opera pas hamil, padahal biasanya benci opera,” katanya, berusaha menghibur. Mira menambahkan, “Mungkin dia cuma kangen dimanja lebih, Rez. Coba kamu peluk dia lebih sering, kasih perhatian ekstra.” Reza mengangguk, tapi dalam hati ia tahu saran itu tak akan menyelesaikan ngidam spesifik Nadia. “Tapi dia bilang harus laki-laki kulit hitam, Mir. Harus dari Ambon atau Papua, katanya,” keluh Reza, membuat kedua temannya kembali tergelak.
2796Please respect copyright.PENANAu0nlE2x3Vw
Reza kembali ke mejanya, semakin bingung. Ia membuka laptop dan mencoba mencari tahu di internet tentang ngidam aneh selama kehamilan, tapi tak ada artikel yang membahas “ngidam pelukan laki-laki kulit hitam.” Ia bahkan sempat tergoda untuk mengetik di forum online, tapi buru-buru mengurungkan niat karena takut malu. Di tengah kebingungannya, ia mendapat pesan WhatsApp dari Nadia: “Mas, aku bikin smoothies buah buat makan siang. Jangan lupa makan siang ya, sayang!” disertai emoji hati. Pesan itu membuat Reza tersenyum, tapi juga semakin bertekad untuk menemukan cara memenuhi ngidam istrinya tanpa membuat dirinya sendiri stres.
2796Please respect copyright.PENANA3Tl7f7wyeS
Saat makan siang, Reza duduk bersama teman kantor lainnya, termasuk Dedi, rekan dari Ambon yang kulitnya gelap dan selalu ceria. Reza hampir saja bertanya apakah Dedi bersedia “meminjamkan pelukan” untuk Nadia, tapi ia buru-buru menggelengkan kepala, menyadari betapa absurd idenya. “Reza, kenapa lo kelihatan bingung dari tadi?” tanya Dedi, sambil mengunyah sandwich. Reza hanya tersenyum kecut dan mengalihkan pembicaraan ke proyek kantor, tak ingin menceritakan drama ngidam istrinya ke lebih banyak orang.
2796Please respect copyright.PENANASNObIZVLnj
Sepanjang hari, Reza merasa seperti terjebak dalam komedi situasi. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaan, pikirannya melayang ke Nadia dan ngidamnya yang tak biasa. Ia membayangkan skenario terburuk—seperti harus mengundang aktor kulit hitam dari iklan parfum untuk datang ke rumah—dan skenario terbaik, yaitu Nadia tiba-tiba mengganti ngidamnya dengan sesuatu yang lebih sederhana, seperti makan bakso. Tapi dari semangat Nadia pagi tadi, Reza tahu bahwa ngidam ini bukan cuma iseng.
2796Please respect copyright.PENANASULhRgXaiI
Pulang ke rumah sore itu, Reza masih membawa rasa waswas. Ia membayangkan Nadia menunggunya dengan senyum manis, mungkin dengan permintaan baru yang tak kalah mengejutkan. Saat membuka pintu, ia disambut aroma masakan Nadia—sop ayam kesukaannya—dan Nadia yang berlari kecil untuk memeluknya. “Mas, kangen!” katanya, memeluk Reza erat. Reza memeluknya balik, merasa lega sekaligus cemas. “Sayang, ngidamnya masih sama?” tanyanya hati-hati. Nadia mengangguk, matanya berbinar. “Mas, tadi aku lihat iklan lagi, cowoknya ganteng banget. Aku tambah yakin pengen pelukan itu,” katanya, lalu tertawa kecil.
2796Please respect copyright.PENANA41CSjlr6VW
Reza menghela napas, tapi tak bisa menahan tawa. “Kamu ini, Nad, bikin Mas pusing tapi tetep sayang,” katanya, mencium kening Nadia. Dalam hati, ia bertekad untuk menemukan cara kreatif untuk memenuhi ngidam istrinya—mungkin dengan cosplay atau sesuatu yang lucu—tanpa melanggar batas kenyamanannya sebagai suami. Hari Senin itu berakhir dengan Reza dan Nadia duduk di sofa, menonton TV sambil berpelukan, tapi pikiran Reza masih sibuk merancang solusi untuk “ngidam paling aneh abad ini,” seperti yang ia sebut dalam hati.
ns216.73.216.125da2