
Akhirnya tanggal 28 tiba, tepatnya hari Sabtu. Indri sudah menyiapkan diri sejak pagi. Sebelumnya, ia dan Purnomo telah sepakat bertemu di sebuah Alfamart agak jauh dari rumahnya. Alamat itu sudah ia kirimkan lewat WhatsApp, tapi kali ini ia sengaja tidak memberitahu Tria atau tim lain.
1877Please respect copyright.PENANANYdAKPT1Sa
Keluar rumah, ia memakai masker menutupi wajahnya, takut ada yang mengenali. Busana hari itu sederhana tapi rapi: gamis putih slim fit dengan hijab hitam, tas putih menempel di bahu. Ia memesan ojek online menuju Alfamart, tempat Purnomo akan menjemputnya.
1877Please respect copyright.PENANAzJrJapUp6l
Beberapa menit kemudian, Indri sudah sampai. Ia duduk di kursi depan Alfamart, membuka Instagram sambil menunggu. Tak lama kemudian, sebuah mobil Honda Brio silver melaju mendekat, klaksonnya terdengar jelas. Itu Purnomo.
1877Please respect copyright.PENANAiQXymUSnrL
Indri menelan ludah, menenangkan napasnya. Dengan langkah tenang, ia masuk ke kursi depan, duduk di samping Purnomo. Hatinya berdebar kencang, campur bahagia dan canggung. Bagaimanapun, ini pertemuan pertama mereka secara langsung, sejak terakhir bertemu di acara ceramah.
1877Please respect copyright.PENANADp1gM64rvt
Dialog dalam mobil
1877Please respect copyright.PENANAzD0kllKHVp
Purnomo: (tersenyum hangat) “Hai, Indri… selamat datang.”
1877Please respect copyright.PENANABiqWKcME2m
Indri: (tersipu, menatap ke luar jendela sebentar) “Hai… Mas Purnomo.”
1877Please respect copyright.PENANA69JkmKdJJ2
Purnomo: (menoleh, nada ringan) “Deg-degan ya? Hehe, santai aja. Aku juga seneng akhirnya bisa ketemu kamu langsung.”
1877Please respect copyright.PENANAIqumTHKFsp
Indri: (tersenyum tipis) “Iya… sedikit deg-degan. Tapi seneng banget juga.”
1877Please respect copyright.PENANAWoew5wi4AU
Purnomo: (mendekatkan sedikit tubuhnya ke arah Indri, tapi masih sopan) “Tenang aja… kita santai aja. Nggak ada yang liat kita kok. Hari ini cuma kita berdua.”
1877Please respect copyright.PENANA3xwEGj00Ti
Indri: (menatapnya, suara pelan) “Iya… aku juga pengen santai. Tapi… baru pertama kali gini, rasanya aneh campur senang.”
1877Please respect copyright.PENANAcQwIv3qqw2
Purnomo: (menyengir, tangan di setir tetap mantap) “Hehe… wajar. Tapi aku seneng banget akhirnya bisa bawa kamu jalan, jauh dari keramaian.”
1877Please respect copyright.PENANAlnlXAEGVZS
Mobil pun mulai melaju meninggalkan Alfamart. Rencana yang sudah mereka tentukan sebelumnya adalah ke Pangandaran, menikmati hari dengan perjalanan santai, jauh dari keramaian dan perhatian orang lain. Indri menatap jalanan sambil tersenyum, hati berdebar campur bahagia—hari ini adalah awal sesuatu yang baru.
---
---
Akhirnya, mereka tiba di Pantai Pangandaran. Setelah membeli tiket dan memasuki area parkir, Purnomo membukakan pintu mobil untuk Indri. Seketika hati Indri berbunga-bunga. Perasaan campur canggung dan bahagia membuat pipinya memerah.
1877Please respect copyright.PENANA83UyWUTXRB
Indri kembali memakai masker wajahnya, waspada agar tidak ada yang mengenali. Purnomo tersenyum, memaklumi. Perlahan, mereka berjalan menuju bangku yang dibuat dari susunan bambu di tepi pantai. Duduk di sana, mereka menikmati udara laut sambil menyeruput kelapa muda yang dibeli dari pedagang sekitar.
1877Please respect copyright.PENANAzu6viPllrO
Suasana santai membuat Purnomo menatap Indri dengan lembut. “Indri… santai aja, lepas aja masker nya. Hari ini sepi ko,” katanya.
1877Please respect copyright.PENANAzcpS0ztbyx
Indri menatapnya sejenak, napasnya sedikit memburu. Perlahan ia melepas masker, wajahnya terbuka untuk pertama kali sejak pagi itu. Rasa lega dan bahagia menyeruak—untuk beberapa jam, ia bisa melupakan profesinya sebagai ustadzah, menjadi diri sendiri sepenuhnya. Senyum lebar menghiasi wajahnya, dan hatinya terasa ringan, menikmati kebebasan sederhana yang jarang ia rasakan.
Di tengah kegugupannya, Indri merasakan tangan kanan Purnomo perlahan meraih kepalanya, seakan memberi isyarat agar ia bersandar di bahu Purnomo. Jantung Indri langsung berdebar lebih kencang, tapi bersamaan dengan itu muncul rasa hangat dan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa ini pertama kalinya ia benar-benar diperlakukan spesial oleh seorang laki-laki.
1877Please respect copyright.PENANA6JPqjUgbNl
Setelah beberapa detik menahan rasa canggung, Indri perlahan merebahkan kepalanya ke bahu Purnomo. Posisi itu membuatnya merasa aman dan nyaman, seolah semua kekhawatiran dan rutinitas yang melelahkan menghilang seketika.
1877Please respect copyright.PENANAeeDRVPr3nZ
Purnomo, dengan suara lembut tapi jelas, mulai bercerita. Ia berbagi cerita tentang pekerjaan, tentang situasi negara, hingga demo-demo DPR yang akhir-akhir ini ramai di berita. Nada bicaranya hangat dan menenangkan, membuat Indri semakin larut dalam suasana.
1877Please respect copyright.PENANAbNsgHEiShY
Di balik kebahagiaan itu, Indri tak bisa menahan perasaannya. Setiap kata Purnomo yang mengalir membuat hatinya berdebar. Tanpa disadari, ia mulai jatuh cinta pada laki-laki paruh baya yang kini duduk di sampingnya—seorang pria yang mampu membuatnya merasa dihargai, diinginkan, dan benar-benar istimewa.
1877Please respect copyright.PENANAE4wSKMJ7kh
Hening sejenak, hanya suara ombak dan Purnomo yang bercerita menemani mereka, sementara Indri membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang begitu jarang ia rasakan.
Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman masjid, menuju ke deretan hotel yang tidak jauh dari area wisata pantai. Senja mulai turun, lampu-lampu kota Pangandaran menyala, menambah suasana romantis. Setelah berkeliling sebentar, akhirnya Purnomo menepikan mobil di depan sebuah hotel berbintang dengan bangunan modern namun hangat.
1877Please respect copyright.PENANAVy4a68nA8f
Mereka berdua turun, berjalan bersama menuju meja resepsionis. Indri menunduk sedikit, menjaga wibawanya meski hatinya berdebar.
1877Please respect copyright.PENANADtH9AXJIMS
Purnomo: “Mbak, kami mau pesan dua kamar, kalau ada yang masih kosong.”
Resepsionis: (tersenyum sopan sambil mengecek komputer) “Mohon maaf Pak, karena malam minggu… hampir semua kamar sudah penuh. Saat ini hanya tersisa satu kamar tipe keluarga, khusus pasangan, dengan kasur kingsize.”
Indri: (terkejut, lirih) “Satu kamar…?” (menatap Purnomo ragu)
Purnomo: (berusaha menenangkan) “Kalau gitu nggak apa-apa, Mbak. Saya tidur di mobil aja. Kasih Indri kamarnya.”
Indri: (spontan menggeleng, sedikit panik) “Jangan, Mas. Mana mungkin kamu tidur di mobil. Nanti nggak enak badannya.”
Resepsionis: (sambil tersenyum canggung) “Kalau Bapak dan Ibu setuju, kamar keluarga ini cukup luas, ada balkon dengan view kota dan pantai juga. Nyaman sekali, saya jamin.”
Indri: (ragu, menunduk, suaranya pelan) “Ya sudah… kalau memang itu saja yang tersisa… terima aja, Mas.”
Purnomo: (menatap Indri, lalu mengangguk mantap) “Baik, Mbak. Kami ambil yang itu.”
1877Please respect copyright.PENANADGp8SOf7zv
Purnomo segera membayar di kasir. Setelah menerima kunci kamar nomor 17, mereka menuju lift. Suasana di antara mereka hening, hanya bunyi “ding” lift yang terdengar.
1877Please respect copyright.PENANAxCSHZhlBtg
Begitu pintu kamar terbuka, Indri tertegun. Ruangan luas, dengan kasur kingsize putih bersih, sofa empuk, dan aroma wangi menenangkan. Namun yang paling membuatnya kagum adalah balkon besar yang menghadap langsung ke kota Pangandaran, lengkap dengan cahaya lampu dan ombak pantai yang terlihat jelas.
1877Please respect copyright.PENANA1Hs6EAHfbY
Indri melangkah ke balkon, membuka tirai, lalu menatap pemandangan malam yang indah. Senyumnya mengembang. Meskipun ia sering keluar masuk hotel untuk urusan ceramah, kali ini rasanya berbeda. Hotel ini terasa paling nyaman,
Indri berdiri canggung di dekat pintu kamar, sementara wajahnya yang masih basah terkena sisa air wudhu membuat pipinya terlihat semakin merona. Suasana hening sebentar, hanya suara deburan ombak dari arah balkon yang terdengar. Purnomo menoleh, sedikit kaget karena deheman kecil Indri memecah keheningan.
1877Please respect copyright.PENANAUPQPupRYgk
Tatapan mereka beradu sejenak. Indri cepat-cepat menunduk, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang kian menumpuk. Purnomo tersenyum tipis, lalu kembali menoleh ke pemandangan luar, mencoba membuat suasana terasa lebih tenang.
1877Please respect copyright.PENANAGLbYolkLPb
Indri berjalan pelan ke arah ranjang, duduk di ujungnya sambil memainkan ujung jilbabnya. Dalam hatinya, ia berusaha meyakinkan diri bahwa keputusan untuk berbagi kamar ini semata-mata karena keadaan, bukan hal lain. Namun denyut jantungnya tak bisa dibohongi—setiap gerakan Purnomo terasa begitu dekat, begitu nyata.
1877Please respect copyright.PENANAeQoeBEbLvc
Sementara itu, Purnomo yang masih di balkon sempat melirik sekilas ke arah Indri, menyadari kegugupannya. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil, berusaha membuat Indri merasa lebih nyaman...
Purnomo menoleh,lalu dengan nada tenang namun tegas bertanya,
Purnomo: “Indri Udah mandi?”
Indri spontan menggeleng pelan, wajahnya menunduk.
Indri: “Nggak… nggak bawa baju ganti, mas.”
1877Please respect copyright.PENANAF1QOIl66kC
Purnomo hanya mengangguk, tak banyak komentar. Ia lalu berjalan masuk ke kamar mandi, menyalakan air.
Terdengar suara pancuran air dari balik pintu kamar mandi. Indri terdiam, duduk di tepi ranjang sambil meremas ujung jilbabnya. Hatinya makin berdebar, campuran antara gugup dan rasa bersalah. Bayangan bahwa yang sedang mandi di dalam sana bukan suaminya membuat batinnya guncang. Namun anehnya, di balik semua itu, ia merasakan kebahagiaan sederhana—hari ini ia merasa begitu diperhatikan, begitu spesial, sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Purnomo keluar dari kamar mandi, segar dengan baju yang masih sama seperti tadi siang. Ia bisa membaca kegugupan Indri dari sorot matanya yang sesekali menghindar. Dengan tenang ia mengajaknya keluar ke balkon.
1877Please respect copyright.PENANAW9JdtqC9t6
Udara malam Pangandaran terasa hangat dengan hembusan angin laut. Dari atas balkon, lampu-lampu kota berkelip berpadu dengan suara ombak yang berulang memecah di pantai. Mereka duduk berdua di kursi rotan yang berhadapan langsung dengan pemandangan itu.
1877Please respect copyright.PENANANBvsxL5uKx
Niat Purnomo sederhana, hanya ingin mencairkan suasana yang kaku. Namun bagi Indri, duduk berdua di balkon dengan seorang lelaki paruh baya yang begitu perhatian, adalah pengalaman paling romantis yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya.
1877Please respect copyright.PENANAXKAOYtExTt
Obrolan pun kembali mengalir. Meski sesekali Indri masih gugup, pipinya bersemu, ia tetap menjawab setiap pertanyaan dan komentar Purnomo. Suasana hening di antara percakapan mereka tidak terasa canggung, justru menenangkan, membuat Indri larut semakin jauh dalam kebersamaan malam itu.
Suasana hangat di balkon yang tadinya tenang langsung pecah oleh ketukan pintu. Indri refleks bangkit dan membukanya. Ternyata seorang pelayan hotel datang membawa nampan—satu dengan tudung saji tertutup, dan satu lagi berisi teh hangat serta kopi dalam dua gelas.
1877Please respect copyright.PENANAPpxCAPIwLM
Dengan ramah pelayan itu meletakkan hidangan di meja kecil balkon, tepat di depan Purnomo.
pelayan hotel "Spesial event malam minggu dari hotel, silakan dinikmati, Pak, Bu,” katanya sambil tersenyum.
1877Please respect copyright.PENANAc0digxLgDQ
Indri dan Purnomo serempak mengucapkan terima kasih.
1877Please respect copyright.PENANA0zrYe5tX4d
Indri pun mengikuti pelayan keluar sejenak untuk menutup dan mengunci pintu, lalu kembali duduk di samping Purnomo. Dengan rasa penasaran indri membuka tudung saji itu.
1877Please respect copyright.PENANAiAaX7zMlU5
Sekejap suasana yang canggung dan kaku langsung pecah dengan tawa. Di dalamnya memang ada makanan ringan, kentang goreng dan camilan lainnya, tapi terselip juga dua bungkus kondom dan satu pak pil KB.
1877Please respect copyright.PENANAaaOO5GmsAO
Indri spontan menutup mulutnya sambil menahan tawa malu, sementara Purnomo geleng-geleng kepala sambil ikut tertawa. Mereka saling pandang sebentar, lalu sama-sama pura-pura fokus ke makanan, meski dalam hati keduanya sadar, suasana jadi berubah lebih berani dan penuh tanda tanya.
Waktu berjalan begitu cepat. Obrolan santai mereka yang penuh canda dan tawa kini berbaur dengan suasana hangat dari camilan yang perlahan habis. Gelas teh dan kopi tinggal setengah, piring camilan kosong, hanya menyisakan dua bungkus kondom dan satu pak pil KB di atas meja kecil balkon.
1877Please respect copyright.PENANA0BbisoYN3N
Keheningan tiba-tiba menyelimuti. Indri merasakan jantungnya berdegup tak karuan, napasnya berat dan terasa panas di dada. Begitu pula dengan Purnomo yang hanya bisa menatap benda-benda “asing” itu, bingung harus berbuat apa. Suasana berubah, bukan lagi sekadar hangat, tapi semakin tegang, intim, dan penuh pertaruhan perasaan.
1877Please respect copyright.PENANA1Jk38e82eJ
Mata mereka bertemu. Pandangan panjang itu tak sekadar tatapan, melainkan seperti percakapan tanpa suara. Nafas mereka sama-sama berat, seolah tubuh punya bahasa sendiri yang tak bisa mereka tolak.
1877Please respect copyright.PENANAL0MJeh6gq0
Akhirnya, dengan gerakan cepat, Purnomo meraih nampan itu, ingin segera membuang barang yang membuat suasana jadi pelik. “Sini, biar aku yang buang,” katanya singkat, suaranya berusaha terdengar ringan.
1877Please respect copyright.PENANAyVjkILifbO
Namun, kejutan besar terjadi. Tangan indri yang halus tiba-tiba menahan pergelangan tangan Purnomo. Ia menunduk, wajahnya memerah, jemarinya gemetar. Setelah hening beberapa detik, dengan suara lirih tapi penuh ketegangan, ia berkata,
1877Please respect copyright.PENANAq2waMlNzCP
“Jangan… jangan dibuang, Mas…”
1877Please respect copyright.PENANAKwHiIzTqUT
Ada jeda panjang. Purnomo terdiam, matanya membesar, hatinya berdebar menunggu kalimat berikutnya.
1877Please respect copyright.PENANATunDZwOi8Z
Dengan napas tersengal, Indri melanjutkan, suaranya bergetar namun tegas:
“Ki… kita gunakan aja.”
1877Please respect copyright.PENANAeJmlyaHjwK
Purnomo sontak terkejut, matanya menatap Indri tak percaya. “Kamu yakin…?” tanyanya pelan, seolah butuh konfirmasi terakhir.
1877Please respect copyright.PENANAzImSSCjhQc
Indri mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya penuh gugup namun ada ketegasan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
1877Please respect copyright.PENANAFnd3dOboNY
Ia mengangguk pelan, bibirnya bergetar.
“iya mas aku yakin.”
1877Please respect copyright.PENANAw9t4sXXmP6
(Nuansa menegangkan terasa semakin kental—sebuah keputusan besar baru saja keluar dari mulut seorang ustadzah yang semestinya menjaga jarak, kini dengan sadar memilih jalan berbeda.)