Akhirnya tanggal 28 tiba, tepatnya hari Sabtu. Indri sudah menyiapkan diri sejak pagi. Sebelumnya, ia dan Purnomo telah sepakat bertemu di sebuah Alfamart agak jauh dari rumahnya. Alamat itu sudah ia kirimkan lewat WhatsApp, tapi kali ini ia sengaja tidak memberitahu Tria atau tim lain.
12529Please respect copyright.PENANA13VlSioqdo
Keluar rumah, ia memakai masker menutupi wajahnya, takut ada yang mengenali. Busana hari itu sederhana tapi rapi: gamis putih slim fit dengan hijab hitam, tas putih menempel di bahu. Ia memesan ojek online menuju Alfamart, tempat Purnomo akan menjemputnya.
12529Please respect copyright.PENANAn9OjgHZ1Ar
Beberapa menit kemudian, Indri sudah sampai. Ia duduk di kursi depan Alfamart, membuka Instagram sambil menunggu. Tak lama kemudian, sebuah mobil Honda Brio silver melaju mendekat, klaksonnya terdengar jelas. Itu Purnomo.
12529Please respect copyright.PENANAfHIC2oaxT0
Indri menelan ludah, menenangkan napasnya. Dengan langkah tenang, ia masuk ke kursi depan, duduk di samping Purnomo. Hatinya berdebar kencang, campur bahagia dan canggung. Bagaimanapun, ini pertemuan pertama mereka secara langsung, sejak terakhir bertemu di acara ceramah.
12529Please respect copyright.PENANAs1Tu6vayOs
Dialog dalam mobil
12529Please respect copyright.PENANAAJNfT6rM8F
Purnomo: (tersenyum hangat) “Hai, Indri… selamat datang.”
12529Please respect copyright.PENANAQwB1NLYbKD
Indri: (tersipu, menatap ke luar jendela sebentar) “Hai… Mas Purnomo.”
12529Please respect copyright.PENANA4VfX6EKmCW
Purnomo: (menoleh, nada ringan) “Deg-degan ya? Hehe, santai aja. Aku juga seneng akhirnya bisa ketemu kamu langsung.”
12529Please respect copyright.PENANAb2JXUZNZwO
Indri: (tersenyum tipis) “Iya… sedikit deg-degan. Tapi seneng banget juga.”
12529Please respect copyright.PENANAqSDb1JpoxW
Purnomo: (mendekatkan sedikit tubuhnya ke arah Indri, tapi masih sopan) “Tenang aja… kita santai aja. Nggak ada yang liat kita kok. Hari ini cuma kita berdua.”
12529Please respect copyright.PENANAazJu2BsHu8
Indri: (menatapnya, suara pelan) “Iya… aku juga pengen santai. Tapi… baru pertama kali gini, rasanya aneh campur senang.”
12529Please respect copyright.PENANAmqanUgbs2Y
Purnomo: (menyengir, tangan di setir tetap mantap) “Hehe… wajar. Tapi aku seneng banget akhirnya bisa bawa kamu jalan, jauh dari keramaian.”
12529Please respect copyright.PENANAx9KdqeFBlC
Mobil pun mulai melaju meninggalkan Alfamart. Rencana yang sudah mereka tentukan sebelumnya adalah ke Pangandaran, menikmati hari dengan perjalanan santai, jauh dari keramaian dan perhatian orang lain. Indri menatap jalanan sambil tersenyum, hati berdebar campur bahagia—hari ini adalah awal sesuatu yang baru.
---
---
Akhirnya, mereka tiba di Pantai Pangandaran. Setelah membeli tiket dan memasuki area parkir, Purnomo membukakan pintu mobil untuk Indri. Seketika hati Indri berbunga-bunga. Perasaan campur canggung dan bahagia membuat pipinya memerah.
12529Please respect copyright.PENANAdYfnDDlxo0
Indri kembali memakai masker wajahnya, waspada agar tidak ada yang mengenali. Purnomo tersenyum, memaklumi. Perlahan, mereka berjalan menuju bangku yang dibuat dari susunan bambu di tepi pantai. Duduk di sana, mereka menikmati udara laut sambil menyeruput kelapa muda yang dibeli dari pedagang sekitar.
12529Please respect copyright.PENANAFuoMVaJMpD
Suasana santai membuat Purnomo menatap Indri dengan lembut. “Indri… santai aja, lepas aja masker nya. Hari ini sepi ko,” katanya.
12529Please respect copyright.PENANAVqRA6C5oni
Indri menatapnya sejenak, napasnya sedikit memburu. Perlahan ia melepas masker, wajahnya terbuka untuk pertama kali sejak pagi itu. Rasa lega dan bahagia menyeruak—untuk beberapa jam, ia bisa melupakan profesinya sebagai ustadzah, menjadi diri sendiri sepenuhnya. Senyum lebar menghiasi wajahnya, dan hatinya terasa ringan, menikmati kebebasan sederhana yang jarang ia rasakan.
Di tengah kegugupannya, Indri merasakan tangan kanan Purnomo perlahan meraih kepalanya, seakan memberi isyarat agar ia bersandar di bahu Purnomo. Jantung Indri langsung berdebar lebih kencang, tapi bersamaan dengan itu muncul rasa hangat dan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa ini pertama kalinya ia benar-benar diperlakukan spesial oleh seorang laki-laki.
12529Please respect copyright.PENANAJCz20aDbAU
Setelah beberapa detik menahan rasa canggung, Indri perlahan merebahkan kepalanya ke bahu Purnomo. Posisi itu membuatnya merasa aman dan nyaman, seolah semua kekhawatiran dan rutinitas yang melelahkan menghilang seketika.
12529Please respect copyright.PENANATw8SUVIaUF
Purnomo, dengan suara lembut tapi jelas, mulai bercerita. Ia berbagi cerita tentang pekerjaan, tentang situasi negara, hingga demo-demo DPR yang akhir-akhir ini ramai di berita. Nada bicaranya hangat dan menenangkan, membuat Indri semakin larut dalam suasana.
12529Please respect copyright.PENANAxu0lGBk0es
Di balik kebahagiaan itu, Indri tak bisa menahan perasaannya. Setiap kata Purnomo yang mengalir membuat hatinya berdebar. Tanpa disadari, ia mulai jatuh cinta pada laki-laki paruh baya yang kini duduk di sampingnya—seorang pria yang mampu membuatnya merasa dihargai, diinginkan, dan benar-benar istimewa.
12529Please respect copyright.PENANA9dGTnzGGbZ
Hening sejenak, hanya suara ombak dan Purnomo yang bercerita menemani mereka, sementara Indri membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang begitu jarang ia rasakan.
Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman masjid, menuju ke deretan hotel yang tidak jauh dari area wisata pantai. Senja mulai turun, lampu-lampu kota Pangandaran menyala, menambah suasana romantis. Setelah berkeliling sebentar, akhirnya Purnomo menepikan mobil di depan sebuah hotel berbintang dengan bangunan modern namun hangat.
12529Please respect copyright.PENANAC6366HDkBn
Mereka berdua turun, berjalan bersama menuju meja resepsionis. Indri menunduk sedikit, menjaga wibawanya meski hatinya berdebar.
12529Please respect copyright.PENANAyNdj2jNgsL
Purnomo: “Mbak, kami mau pesan dua kamar, kalau ada yang masih kosong.”
Resepsionis: (tersenyum sopan sambil mengecek komputer) “Mohon maaf Pak, karena malam minggu… hampir semua kamar sudah penuh. Saat ini hanya tersisa satu kamar tipe keluarga, khusus pasangan, dengan kasur kingsize.”
Indri: (terkejut, lirih) “Satu kamar…?” (menatap Purnomo ragu)
Purnomo: (berusaha menenangkan) “Kalau gitu nggak apa-apa, Mbak. Saya tidur di mobil aja. Kasih Indri kamarnya.”
Indri: (spontan menggeleng, sedikit panik) “Jangan, Mas. Mana mungkin kamu tidur di mobil. Nanti nggak enak badannya.”
Resepsionis: (sambil tersenyum canggung) “Kalau Bapak dan Ibu setuju, kamar keluarga ini cukup luas, ada balkon dengan view kota dan pantai juga. Nyaman sekali, saya jamin.”
Indri: (ragu, menunduk, suaranya pelan) “Ya sudah… kalau memang itu saja yang tersisa… terima aja, Mas.”
Purnomo: (menatap Indri, lalu mengangguk mantap) “Baik, Mbak. Kami ambil yang itu.”
12529Please respect copyright.PENANA4ydzvzUa2E
Purnomo segera membayar di kasir. Setelah menerima kunci kamar nomor 17, mereka menuju lift. Suasana di antara mereka hening, hanya bunyi “ding” lift yang terdengar.
12529Please respect copyright.PENANAi9QcZW16Eo
Begitu pintu kamar terbuka, Indri tertegun. Ruangan luas, dengan kasur kingsize putih bersih, sofa empuk, dan aroma wangi menenangkan. Namun yang paling membuatnya kagum adalah balkon besar yang menghadap langsung ke kota Pangandaran, lengkap dengan cahaya lampu dan ombak pantai yang terlihat jelas.
12529Please respect copyright.PENANAkApSZkHsWy
Indri melangkah ke balkon, membuka tirai, lalu menatap pemandangan malam yang indah. Senyumnya mengembang. Meskipun ia sering keluar masuk hotel untuk urusan ceramah, kali ini rasanya berbeda. Hotel ini terasa paling nyaman,
Indri berdiri canggung di dekat pintu kamar, sementara wajahnya yang masih basah terkena sisa air wudhu membuat pipinya terlihat semakin merona. Suasana hening sebentar, hanya suara deburan ombak dari arah balkon yang terdengar. Purnomo menoleh, sedikit kaget karena deheman kecil Indri memecah keheningan.
12529Please respect copyright.PENANAVN8XlQ9IKw
Tatapan mereka beradu sejenak. Indri cepat-cepat menunduk, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang kian menumpuk. Purnomo tersenyum tipis, lalu kembali menoleh ke pemandangan luar, mencoba membuat suasana terasa lebih tenang.
12529Please respect copyright.PENANAIs3zy1pBIV
Indri berjalan pelan ke arah ranjang, duduk di ujungnya sambil memainkan ujung jilbabnya. Dalam hatinya, ia berusaha meyakinkan diri bahwa keputusan untuk berbagi kamar ini semata-mata karena keadaan, bukan hal lain. Namun denyut jantungnya tak bisa dibohongi—setiap gerakan Purnomo terasa begitu dekat, begitu nyata.
12529Please respect copyright.PENANAQdOrbdREf3
Sementara itu, Purnomo yang masih di balkon sempat melirik sekilas ke arah Indri, menyadari kegugupannya. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil, berusaha membuat Indri merasa lebih nyaman...
Purnomo menoleh,lalu dengan nada tenang namun tegas bertanya,
Purnomo: “Indri Udah mandi?”
Indri spontan menggeleng pelan, wajahnya menunduk.
Indri: “Nggak… nggak bawa baju ganti, mas.”
12529Please respect copyright.PENANABcZ6sejVGs
Purnomo hanya mengangguk, tak banyak komentar. Ia lalu berjalan masuk ke kamar mandi, menyalakan air.
Terdengar suara pancuran air dari balik pintu kamar mandi. Indri terdiam, duduk di tepi ranjang sambil meremas ujung jilbabnya. Hatinya makin berdebar, campuran antara gugup dan rasa bersalah. Bayangan bahwa yang sedang mandi di dalam sana bukan suaminya membuat batinnya guncang. Namun anehnya, di balik semua itu, ia merasakan kebahagiaan sederhana—hari ini ia merasa begitu diperhatikan, begitu spesial, sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Purnomo keluar dari kamar mandi, segar dengan baju yang masih sama seperti tadi siang. Ia bisa membaca kegugupan Indri dari sorot matanya yang sesekali menghindar. Dengan tenang ia mengajaknya keluar ke balkon.
12529Please respect copyright.PENANAaTT0malupP
Udara malam Pangandaran terasa hangat dengan hembusan angin laut. Dari atas balkon, lampu-lampu kota berkelip berpadu dengan suara ombak yang berulang memecah di pantai. Mereka duduk berdua di kursi rotan yang berhadapan langsung dengan pemandangan itu.
12529Please respect copyright.PENANAiT0SqvdYa9
Niat Purnomo sederhana, hanya ingin mencairkan suasana yang kaku. Namun bagi Indri, duduk berdua di balkon dengan seorang lelaki paruh baya yang begitu perhatian, adalah pengalaman paling romantis yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya.
12529Please respect copyright.PENANA3SFT7bO8vu
Obrolan pun kembali mengalir. Meski sesekali Indri masih gugup, pipinya bersemu, ia tetap menjawab setiap pertanyaan dan komentar Purnomo. Suasana hening di antara percakapan mereka tidak terasa canggung, justru menenangkan, membuat Indri larut semakin jauh dalam kebersamaan malam itu.
Suasana hangat di balkon yang tadinya tenang langsung pecah oleh ketukan pintu. Indri refleks bangkit dan membukanya. Ternyata seorang pelayan hotel datang membawa nampan—satu dengan tudung saji tertutup, dan satu lagi berisi teh hangat serta kopi dalam dua gelas.
12529Please respect copyright.PENANAvggJBv7il5
Dengan ramah pelayan itu meletakkan hidangan di meja kecil balkon, tepat di depan Purnomo.
pelayan hotel "Spesial event malam minggu dari hotel, silakan dinikmati, Pak, Bu,” katanya sambil tersenyum.
12529Please respect copyright.PENANAS0iqaJQlej
Indri dan Purnomo serempak mengucapkan terima kasih.
12529Please respect copyright.PENANALa9JzinpQK
Indri pun mengikuti pelayan keluar sejenak untuk menutup dan mengunci pintu, lalu kembali duduk di samping Purnomo. Dengan rasa penasaran indri membuka tudung saji itu.
12529Please respect copyright.PENANA3D4WLec8cB
Sekejap suasana yang canggung dan kaku langsung pecah dengan tawa. Di dalamnya memang ada makanan ringan, kentang goreng dan camilan lainnya, tapi terselip juga dua bungkus kondom dan satu pak pil KB.
12529Please respect copyright.PENANAekFhTEQERf
Indri spontan menutup mulutnya sambil menahan tawa malu, sementara Purnomo geleng-geleng kepala sambil ikut tertawa. Mereka saling pandang sebentar, lalu sama-sama pura-pura fokus ke makanan, meski dalam hati keduanya sadar, suasana jadi berubah lebih berani dan penuh tanda tanya.
Waktu berjalan begitu cepat. Obrolan santai mereka yang penuh canda dan tawa kini berbaur dengan suasana hangat dari camilan yang perlahan habis. Gelas teh dan kopi tinggal setengah, piring camilan kosong, hanya menyisakan dua bungkus kondom dan satu pak pil KB di atas meja kecil balkon.
12529Please respect copyright.PENANAPlefsIVcMl
Keheningan tiba-tiba menyelimuti. Indri merasakan jantungnya berdegup tak karuan, napasnya berat dan terasa panas di dada. Begitu pula dengan Purnomo yang hanya bisa menatap benda-benda “asing” itu, bingung harus berbuat apa. Suasana berubah, bukan lagi sekadar hangat, tapi semakin tegang, intim, dan penuh pertaruhan perasaan.
12529Please respect copyright.PENANAXZ2hha1TYE
Mata mereka bertemu. Pandangan panjang itu tak sekadar tatapan, melainkan seperti percakapan tanpa suara. Nafas mereka sama-sama berat, seolah tubuh punya bahasa sendiri yang tak bisa mereka tolak.
12529Please respect copyright.PENANAv2fMJMW1zy
Akhirnya, dengan gerakan cepat, Purnomo meraih nampan itu, ingin segera membuang barang yang membuat suasana jadi pelik. “Sini, biar aku yang buang,” katanya singkat, suaranya berusaha terdengar ringan.
12529Please respect copyright.PENANAoKGdbOUX5Z
Namun, kejutan besar terjadi. Tangan indri yang halus tiba-tiba menahan pergelangan tangan Purnomo. Ia menunduk, wajahnya memerah, jemarinya gemetar. Setelah hening beberapa detik, dengan suara lirih tapi penuh ketegangan, ia berkata,
12529Please respect copyright.PENANAj8T1O5ZArC
“Jangan… jangan dibuang, Mas…”
12529Please respect copyright.PENANAvViy1JekTO
Ada jeda panjang. Purnomo terdiam, matanya membesar, hatinya berdebar menunggu kalimat berikutnya.
12529Please respect copyright.PENANAFhA4kyTLpx
Dengan napas tersengal, Indri melanjutkan, suaranya bergetar namun tegas:
“Ki… kita gunakan aja.”
12529Please respect copyright.PENANAY4Nfj6fGae
Purnomo sontak terkejut, matanya menatap Indri tak percaya. “Kamu yakin…?” tanyanya pelan, seolah butuh konfirmasi terakhir.
12529Please respect copyright.PENANAjj8w44G0J8
Indri mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya penuh gugup namun ada ketegasan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
12529Please respect copyright.PENANAhswdq2Dl8O
Ia mengangguk pelan, bibirnya bergetar.
“iya mas aku yakin.”
12529Please respect copyright.PENANAlSoGe7UaIL
(Nuansa menegangkan terasa semakin kental—sebuah keputusan besar baru saja keluar dari mulut seorang ustadzah yang semestinya menjaga jarak, kini dengan sadar memilih jalan berbeda.)


