Pagi itu, seperti biasa, aku menyapu halaman rumah dengan daster biru tipis yang agak pendek, rambutku dikuncir asal tapi tetap terlihat rapi. Aku suka momen ini, udara segar, burung berkicau, dan pikiran agak tenang sebelum hari jadi sibuk. Tiba-tiba, suara ceria menyapa, “Pagi, Mbak Amanda! Rajin banget, nih, nyapu.” Aku mendongak, Mas Rudi berdiri di pagar rumahnya, memegang cangkir kopi, senyum lebar seperti biasa. Aku balas senyum, “Pagi, Mas. Ya, biar halaman bersih, kan enak dilihat.” Dia mengangguk, matanya sekilas menatapku sebelum kembali ke kopinya.2768Please respect copyright.PENANAPc3YXJQV6B
Sejak pertemuan soal Tupperware itu, Mas Rudi sering menyapa tiap aku di halaman. Entah dia sedang nyiram tanaman, njem sepatu, atau cuma berdiri iseng di teras. Aku baru tahu dari obrolan ringan bahwa dia kerja dari rumah, freelance desain grafis katanya. “Jadi fleksibel, Mbak. Nggak perlu macet-macetan ke kantor,” ujarnya suatu siang, sambil nyender di pagar. Aku cuma mengangguk, “Enak ya, Mas, tiap hari di rumah.” Dalam hati, aku membandingkan: Bima pulang malam, kadang berhari-hari nggak kelihatan, sementara Mas Rudi ini santai di rumah, pasti selalu ada buat istrinya.2768Please respect copyright.PENANAENZAmsjAd9
Ngomongin istrinya, aku pernah ketemu Mba Sari, istri Mas Rudi, sekali di warung depan gang. Orangnya ramah, tapi penampilannya sederhana, baju kaus longgar, rambut dicepol, nggak pakai makeup. Aku nggak mau sombong, tapi tanpa sadar aku membandingkan diriku dengannya. Aku selalu jaga penampilan: tubuhku yang montok dan semok, kulit mulus karena rutin luluran, dasterku yang selalu agak ketat biar lekuk tubuh kelihatan. “Mba Sari biasa aja, ya,” pikirku, sambil merasa sedikit bersalah. Tapi di sisi lain, aku iri. Dia pasti nggak kesepian seperti aku, suaminya kan selalu di rumah.2768Please respect copyright.PENANAmPFnDg0Xup
“Eh, Mbak Amanda, ini tanaman tomatku udah berbuah, mau coba?” tanya Mas Rudi suatu pagi, sambil nunjukin pot kecil di halamannya. Aku menghampiri pagar, lihat tomat merah kecil yang lucu. “Wah, lucu banget, Mas. Mba Sari yang nanam?” tanyaku, sekadar basa-basi. Dia ketawa, “Bukan, ini saya iseng. Sari sibuk ngurus online shop-nya, nggak sempat nanam-nanam.” Aku mengangguk, pura-pura kagum, tapi dalam hati mikir, “Enak ya, mereka berdua di rumah, pasti tiap hari ketemu, ngobrol, ketawa bareng.”2768Please respect copyright.PENANAZIynto3tLr
Hari lain, aku lagi menyapu, Mas Rudi keluar bawa kardus kecil. “Mbak, ini paket buat rumah Mbak Amanda, tadi kurir salah narahin ke rumah saya,” katanya, nyodorin kardus. Aku lihat labelnya, paket skincare yang aku pesan. “Wah, makasih, Mas. Untung Mas di rumah, kalau nggak, ilang ini,” candaku. Dia tersenyum, “Iya, untung saya WFH. Kalau kayak Mas Bima, pasti nggak sempat, ya?” Aku cuma nyengir kecut, “Iya, dia kan sahabat lembur.” Dia ketawa, tapi aku merasa ada nada simpati di matanya.2768Please respect copyright.PENANAnJBPN2PFCL
Aku mulai sadar, obrolan kami makin sering, meski cuma sekilas. Kadang dia tanya soal resep masakan, kadang cerita lucu soal kliennya yang rewel. Aku selalu balas dengan tawa, soalnya Mas Rudi memang pandai bercanda. “Mbak Amanda, coba tebak, klien minta logo warna merah, eh, pas dikirim, dia bilang ‘ini kok pink?’” katanya sambil ngakak. Aku ikut ketawa, “Ya Tuhan, Mas, matanya kenapa, sih?” Obrolan ringan ini bikin pagiku sedikit lebih cerah, tapi juga bikin aku makin membandingkan hidupku dengan Mba Sari.2768Please respect copyright.PENANA8qtBUEEKun
Suatu siang, aku lihat Mas Rudi dan Mba Sari jalan bareng ke warung, tangan Mba Sari nyantel di lengan suaminya. Mereka ngobrol sambil ketawa, kayak pasangan yang nggak punya beban. Aku yang lagi nyapu cuma bisa melirik dari jauh, hati kecilku cemburu. “Pasti enak punya suami yang selalu ada,” gumamku. Bima malam ini dinas lagi ke Bandung, entah pulang kapan. Aku tarik napas panjang, usap peluh di dahi, dan lanjut menyapu.
2768Please respect copyright.PENANAZwphskpxNZ
Aku tahu aku nggak boleh iri. Mba Sari orang baik, Mas Rudi juga cuma tetangga ramah. Tapi tiap Mas Rudi menyapa dengan senyum lebarnya, aku merasa diperhatikan, sesuatu yang jarang kurasakan dari Bima akhir-akhir ini. Aku lihat bayangan diriku di kaca jendela: daster ketat, tubuh yang kuurus dengan susah payah di gym, wajah yang selalu kukasih bedak tipis. “Amanda, kamu cantik, tapi buat siapa, sih?” pikirku, setengah kesal.
2768Please respect copyright.PENANA1vcJuuIpVW
Malam itu, aku duduk di teras, pegang segelas teh hangat. Mas Rudi lewat dari warung, bawa kantong plastik. “Mbak Amanda, kok sendirian? Mas Bima belum pulang?” tanyanya, berhenti sebentar di depan pagar. Aku mengangguk, “Belum, Mas. Dinas ke Bandung.” Dia mengangguk, “Sabar ya, Mbak. Kalau butuh temen ngobrol, ketuk pintu aja.” Aku tersenyum, “Makasih, Mas. Mba Sari nggak cemburu, ya, Mas Rudi ngobrol sama tetangga?” Dia ketawa, “Haha, Sari mah santai. Lagian, cuma ngobrol, kan?” Aku cuma mengangguk, tapi hati kecilku berbisik, “Cuma ngobrol, tapi kenapa rasanya beda?”
2768Please respect copyright.PENANA6XyKe476sw
Aku masuk ke rumah, taruh gelas di wastafel, dan lihat ponsel. Bima cuma kirim pesan singkat, “Man, mungkin baru pulang lusa. Maaf ya.” Aku mendesah, nggak balas. Di kepalaku, wajah Mba Sari yang biasa saja muncul lagi, bersama senyum Mas Rudi yang terlalu ramah. Aku tepuk jidat, “Amanda, jangan kebanyakan drama.” Tapi di sudut hati, ada rasa ingin tahu yang mulai tumbuh, dan aku nggak yakin itu hal yang baik.
ns216.73.216.125da2