Namaku Amanda, 27 tahun, istri dari Bima, seorang PNS di kementerian yang kerjanya tak pernah usai. Kami belum dikaruniai anak, meski sudah tiga tahun menikah. Hidupku lumayan nyaman, tabungan cukup, rumah di pinggiran Jakarta yang asri, tapi ada satu hal yang bikin hati kecilku merajuk: Bima jarang di rumah, apalagi untuk urusan ranjang. Lembur dan dinas luar kota adalah sahabat karibnya, bukan aku.
Aku bukan tipe yang suka mengeluh, tapi tubuhku ini—montok, semok, kulit mulus hasil perawatan rutin—serasa sia-sia. Di rumah, aku sering pakai daster tipis atau tank top ketat yang sedikit terbuka di bagian dada. Bukan karena apa, aku cuma ingin Bima melirikku sedikit, merasa aku masih menarik. Tapi apa daya, dia pulang malam, wajah capek, dan cuma bilang, “Aku mandi dulu, ya, Man,” sebelum ambruk di kasur.3015Please respect copyright.PENANACLnzZlwbKv
Hari ini Jumat, malam yang konon spesial buat pasutri. Pagi tadi aku sudah WhatsApp Bima, iseng nanya, “Malam ini pulang cepet, nggak, Mas? Kangen, nih.” Balasannya cuma, “Kayaknya lembur lagi, Man. Besok aja ketemu, ya?” Aku mendesah di depan cermin kamar, lihat pantulan diriku: daster merah yang agak nerawang, rambut panjang tergerai, lipstik nude yang sengaja kugores biar kelihatan fresh. “Buah yang ranum, tapi tak dipetik,” gumamku sambil cengengesan sendiri.3015Please respect copyright.PENANAXia7VBHwEa
Di dapur, aku bikin kopi sambil dengar playlist R&B yang bikin suasana makin melow. Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu pagar. “Siapa, ya?” pikirku, soalnya jarang ada tamu malam-malam. Aku intip dari jendela, ternyata Mas Rudi, tetangga baru yang pindah ke rumah sebelah minggu lalu. Dia bawa kotak Tupperware, senyum lebar kayak iklan pasta gigi.3015Please respect copyright.PENANAsrsy0iV5KF
“Maaf, Mbak Amanda, ini kue dari istri. Katanya buat sambutan kenal-kenalan,” ujar Mas Rudi, matanya sopan tapi sempat melirik ke dasterku. Aku tersenyum, ambil kotak itu. “Wah, makasih banget, Mas. Istri Mas baik banget, deh. Masuk dulu, yuk, minum apa?” tawarku, sekadar basa-basi tetangga. Dia geleng-geleng, “Nggak usah, Mbak, saya cuma antar ini. Eh, Mas Bima mana? Kok sepi rumahnya?”
“Dia lembur, Mas. Biasa, PNS kan sahabatnya kertas dan komputer,” candaku, sedikit nyinyir. Mas Rudi ketawa, “Haha, iya, ya, kerjaan nggak ada habisnya. Eh, Mbak Amanda nggak kesepian, kan, sendirian gini?” Aku nyengir, agak kaget sama pertanyaannya yang blak-blakan. “Ya, biasa aja, Mas. Kan ada Netflix megangin,” jawabku, berusaha santai.3015Please respect copyright.PENANAi4rmx5aGXu
“Kalau butuh temen ngobrol, bilang aja, Mbak. Saya di sebelah, kapan aja bisa,” kata Mas Rudi, nadanya ramah tapi ada senyum kecil yang bikin aku salah tingkah. Aku cuma mengangguk, “Iya, Mas, makasih ya. Salam buat istri Mas.” Dia pamit, dan aku tutup pintu, hati sedikit berdebar. “Astaga, Amanda, jangan macem-macem,” batinku, sambil ngeloyor balik ke dapur.3015Please respect copyright.PENANAA2JFwBv225
Aku buka Tupperware itu, isinya brownies cokelat yang wangi. Aku comot satu, sambil mikir, “Enak juga, sih, tetangga baru ini ramah.” Tapi pikiranku balik lagi ke Bima. Aku ambil ponsel, ketik pesan, “Mas, pulang dong, malam Jumat nih. Aku udah cantik-cantik lho.” Tapi seperti biasa, cuma centang satu. Aku mendesah, taruh ponsel, dan nyanyi pelan ikut lagu di speaker, “Cause all of me loves all of you…”
Malam makin larut, Bima belum balas. Aku duduk di sofa, kaki selonjor, dasterku sedikit tersingkap sampai paha. “Kalau gini terus, apa kabar hati aku, ya Tuhan?” gumamku, setengah kesal, setengah geli. Di luar, angin malam bertiup pelan, dan entah kenapa, senyum Mas Rudi tadi tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku tepuk jidat, “Amanda, istirahat. Jangan halu.” Tapi di hati kecilku, ada rasa penasaran yang mulai menggelitik.
ns216.73.216.125da2