
Bab 34 Jalan Baru di Ujung Trauma
follow Medsosnya juga ya IG : https://www.instagram.com/dsasaxi88?igsh=cjU4b2Y5bGljNHpi dan FB nya : https://www.facebook.com/share/19uqxy1kvv/
full akses ada di https://victie.com/novels/nafsu_berselimut_dakwah jangan lupa cek karya karya lainnya
Malam di pesantren Al-Hidayah terasa mencekam, meski suara ngaji santri masih bergema pelan dari masjid kecil di ujung halaman. Cahaya lampu minyak di asrama santriwati berkedip, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding kayu yang usang. Ustadzah Reni duduk di tengah “ruang musyawarah sebuah bilik kecil yang penuh dengan aroma tikar pandan dan lilin yang meleleh. Di hadapannya, empat santriwati muda, kembang pesantren, duduk dengan wajah tegang
4521Please respect copyright.PENANATB8d6nSWND
Vera, 16 tahun,
wajah polos namun tubuhnya matang seperti gadis 22 tahun Aisyah, 16 tahun,
dengan senyum manis yang menyembunyikan trauma Nadia, 17 tahun,
4521Please respect copyright.PENANAA0aMo5Ym3r
berani dan penuh rasa ingin tahu serta
4521Please respect copyright.PENANAeou5ALdh16
Siti, 17 tahun, montok dengan pinggul lebar yang sering mencuri perhatian. Perdebatan panjang sejak maghrib telah menguras tenaga, namun tekad Reni untuk membawa mereka keluar dari pesantren semakin kuat.
Reni memandang mereka, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Nak, Ustadzah tahu kalian lelah dengan semua omongan tadi. Kyai bilang kalian durhaka kalau kabur, tapi dengar Ustadzah Plinggo bukan ajaran sesat seperti yang mereka tuduh. Ini tentang memahami kodrat wanita, mendekatkan diri ke Tuhan lewat tubuh dan hati. Di pesantren ini, kalian merasa aman? Atau justru… tertekan?”
4521Please respect copyright.PENANADJaBw62B97
Vera menunduk, tangannya gemetar memegang jilbabnya. “Ustadzah, aku takut,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Setiap malam, aku digilir ustadz-ustadz tua itu. Mereka bilang itu ‘pembersihan jiwa’, tapi aku sakit, Ustadzah. Dua kali aku keguguran karena mereka kasar. Aku nggak mau lagi. Kalau Plinggo beda, aku ikut.”
Aisyah, di samping Vera, menangis pelan, air mata menetes ke tikar. “Aku juga, Ustadzah. Ingat nggak, waktu murid baru datang? Kyai bilang kami harus ‘layani’ mereka. Aku dan Vera digilir bareng. Aku juga keguguran sekali. Sakit, Ustadzah. Kalau Plinggo tanpa paksaan, aku mau ikut.”
Nadia mengangguk, matanya basah tapi suaranya tegas. “Ustadzah, aku dengar Plinggo ajarin wanita memuaskan pria, tapi suka rela. Di sini, kami dipaksa, tubuh kami kayak mainan. Aku mau keluar, cari jalan baru.”
4521Please respect copyright.PENANA0GJycuKxX6
Siti menyentuh tangan Reni, suaranya mantap. “Ustadzah, tadi kyai marah banget, bilang kami pengkhianat. Tapi Ustadzah pintar, nutupin Plinggo dengan bilang ini ‘pengajian khusus di desa tetangga’. Aku siap ikut, asal kami aman.”
4521Please respect copyright.PENANAZYpGLgGaYv
Reni tersenyum, hatinya membuncah kepuasan. “Baik, Nak. Ustadzah sudah atur semuanya. Malam ini kita pergi ke desa baru, ke rumah tokoh yang baik hati. Di sana, kalian akan belajar Plinggo yang sesungguhnya tanpa paksaan, tanpa rasa sakit.”
Mereka berpelukan, air mata bercampur harapan. Reni memimpin mereka keluar melalui pintu belakang, menghindari penjaga malam. Langkah mereka pelan, hati berdebar, tapi tekad membaja. Saat hampir sampai di gerbang desa, dua sosok muncul dari bayang-bayang Ustadzah Nur, 33 tahun, dan Ustadzah Ika, 40 tahun, masing-masing membawa tas kecil, wajah mereka penuh kegelisahan.
4521Please respect copyright.PENANA8hAuRKmIHF
“Mbak Reni!” bisik Nur, suaranya gemetar.
“Aku dengar kalian mau pergi. Aku ikut, Mbak. Di pesantren ini, aku nggak betah lagi. Kyai dan ustadz-ustadz itu… mereka sibuk ‘konsultasi’ dengan santriwati muda. Aku? Ditinggal begitu saja, kayak nggak ada harganya.”
4521Please respect copyright.PENANAmryU10Eo1u
Ika mengangguk, wajahnya lelah. “Aku juga, Mbak. Umur 40, tapi aku tahu kelakuan kyai. Dulu aku digilir, sampai dinikahi. Tapi setelah murid baru dating wajah polos, tubuh matang aku ditinggal. Jarang disentuh, nggak dipuaskan. Aku mau coba Plinggo yang Mbak ceritain.”
Reni terkejut, tapi senyumnya melebar. “Baik, Mbak-mbak. Kita pergi bersama. Tujuh orang sekarang Ustadzah dan santriwati. Kita kuat bersama.”
Mereka melaju dengan mobil sewaan yang Reni siapkan, menuju desa Pak Togar. Jalan berbatu membuat mobil bergoyang, tapi percakapan di dalam mobil penuh kehidupan. Saat azan zuhur berkumandang, mereka mampir di masjid kecil di pinggir jalan. Setelah sholat, di halaman masjid yang sepi dengan angin siang yang sejuk, Reni mengumpulkan mereka di bawah pohon beringin.
4521Please respect copyright.PENANAFaRUKLoqiG
“Nak, Mbak-mbak, sekarang waktunya Ustadzah jelasin Plinggo yang sesungguhnya,” kata Reni, suaranya penuh wibawa. “Plinggo ajarin kita, wanita adalah tempat godaan setan, tapi juga kunci surga. Ibadah kita memuaskan pria produktif, terima karomah mereka lewat sperma. Tapi dengar ini tanpa paksaan. Kalau nggak mau, boleh tolak. Pria nggak boleh kasar, kecuali wanita setuju. Di Plinggo, pria dewasa yang kerja keras punya karomah untuk sucikan dosa kita.”
4521Please respect copyright.PENANALiE2a127Xt
Nur mengangguk antusias, matanya berbinar. “Aku siap, Mbak. Di pesantren, aku dipaksa, tapi nggak pernah puas. Kalau Plinggo suka rela, aku mau banget.”
Nadia tersenyum, “Ustadzah, aku dengar dari Lina, Plinggo bikin tubuh enteng, hati tenang. Aku siap belajar.”
Siti menimpali, “Aku juga, Ustadzah. Kalau nggak dipaksa, aku mau coba ibadah ini.”
Tapi Ika mengerutkan kening, suaranya penuh keraguan. “Mbak Reni, cobalah introspeksi lagi. Aku merasa ini salah. Umurku 40, tubuhku nggak kencang lagi, pinggul besar, perut buncit. Sepantasnya nggak ikut ibadah kayak gitu. Ini dosa, Mbak.”
4521Please respect copyright.PENANALpGTSGAnQK
Reni memandang Ika dengan sabar. “Mbak Ika, cobalah introspeksi diri lagi. Di Plinggo, umur nggak masalah sebelum 60 tahun, semua wanita butuh karomah. Tubuh Mbak besar, pinggul lebar, itu justru berkah. Pria di Plinggo hargai itu. Mbak nggak merasa selama ini di pesantren, kyai pilih yang muda, ninggalin Mbak? Plinggo beda.”
Ika menggeleng, suaranya tegas. “Nggak, Mbak. Aku tetap nggak percaya ini benar. Aku hidup sesuai syariat Islam, menjaga diri. Aku nggak yakin Plinggo itu halal.”
Reni tak tersinggung, suaranya tetap lembut. “Mbak, barangkali Mbak merasa nggak pantas karena kyai dulu sering ‘konsultasi’ dengan Mbak, tapi setelah murid baru datang, Mbak ditinggal. Plinggo nggak gitu. Pria dewasa bagi karomah merata, nggak pilih-pilih.”
4521Please respect copyright.PENANAK45J4pYcR7
Ika menatap Reni, matanya penuh keraguan. “Mbak, barangkali dulu aku sering dipakai kyai, kayak mut’ah gitu. Tapi sekarang aku tua, nggak layak lagi.”
Reni tersenyum bijak. “Mbak bilang mut’ah? Itu berarti Mbak sering ganti pasangan di pesantren, kan? Plinggo nggak mut’ah, Mbak. Itu ibadah suka rela, nggak ada paksaan. Mbak nggak merasa selama ini kyai kasar, ninggalin Mbak setelah dapat yang muda?”
4521Please respect copyright.PENANAC0SoGhvIgp
Ika terdiam, wajahnya memerah. “Iya, Mbak. Dulu aku favorit kyai, digilir setiap hari. Tapi setelah Vera, Aisyah, dan murid baru datang—wajah polos, tubuh matang kayak 22 tahun aku ditinggal. Suamiku kyai, tapi jarang puasin aku. Aku diam aja, Mbak. Kalau Plinggo beda, aku ikut, tapi aku nggak janji langsung praktek.”
Vera, yang selama ini diam, tiba-tiba angkat suara, suaranya gemetar. “Ustadzah, aku juga takut. Aku 15 tahun, masih kecil. Di pesantren, aku digilir kyai dan ustadz. Mereka bilang ‘pembersihan’, tapi aku sakit. Dua kali keguguran, darah banyak. Aku nggak mau Plinggo sama kayak gitu. Ini salah, kan?”
Aisyah memeluk Vera, air matanya kembali mengalir. “Ver, aku ingat. Kita bareng digilir. Murid baru itu wajah cantik, dada besar, pinggul lebar kyai langsung pilih mereka. Aku juga keguguran sekali. Sakit, Ustadzah. Kalau Plinggo paksa, aku nggak mau.”
4521Please respect copyright.PENANALWHOMIH83f
Reni memeluk mereka berdua, suaranya penuh empati. “Nak, dengar Ustadzah. Di Plinggo, nggak ada paksaan. Poin ketujuh Wanita boleh tolak kalau sudah dua kali ibadah hari itu, atau kalau nggak suka prianya. Poin kedelapan Pria nggak boleh kasar, kecuali wanita setuju. Ustaz Karim dan Ijal mutlak, tapi adil. Vera, Aisyah, kalian trauma pesantren, tapi Plinggo beda. Kalau mau surga, ikut kalau nggak, nggak dipaksa. Bayangin, di sana kalian aman, nggak digilir paksa kayak kyai.”
Vera menangis, tapi angguk pelan. “Ustadzah, aku mau ikut. Di pesantren, setiap malam aku takut. Keguguran dua kali, aku nggak mau lagi. Kalau Plinggo beda, aku siap.”
Aisyah menggenggam tangan Vera. “Aku juga, Ver. Kalau Plinggo suka rela, aku ikut. Ustadzah, terima kasih sudah selamatin kami.”
Nadia menyentuh bahu Vera. “Ver, kita bareng. Aku dukung.”
4521Please respect copyright.PENANAmAVyM16YSj
Siti menambahkan, “Ustadzah, aku siap. Plinggo ajarin kami memuaskan pria, tapi dapat karomah. Buat Mbak Ika, umur 40 masih oke. Tubuh Mbak montok, pria pasti suka.”
ustazah Nur ikut bicara, suaranya antusias. “Mbak Reni, aku 33 tahun, tapi di pesantren aku cuma lihat santriwati digilir. Aku nggak, tapi hati gelisah. Plinggo kayak surga baru. Aku siap belajar.”
4521Please respect copyright.PENANACaxP5WU8X7
ustazah Ika menghela napas,
“Mbak Reni, aku tahu kelakuan kyai. Aku diam karena takut. Kalau Plinggo nggak paksa, aku ikut, tapi aku lihat dulu.”
Reni tersenyum, “Baik, Mbak. Kalian semua akan lihat sendiri. Sekarang, kita lanjut ke desa Pak Togar, pusat Plinggo.”
Mereka melanjutkan perjalanan, mobil bergoyang di jalan berbatu. Di dalam, percakapan terus mengalir. Nur berbagi, “Mbak, aku sering lihat Vera dan Aisyah menangis malam-malam. Kyai bilang ‘ibadah’, tapi mereka sakit. Aku nggak tahan lihat itu.”
4521Please respect copyright.PENANASD33IwB5g1
Vera mengangguk, “Iya, Mbak Nur. Setiap malam aku takut. Tubuhku matang, tapi aku cuma 15 tahun kala itu. Kyai bilang aku dewasa, tapi aku nggak mau digilir lagi.”
Aisyah menambahkan, “Dan murid baru itu, wajah polos, tapi tubuh… kayak kami. Kyai pilih mereka, tinggalin kami. Plinggo harus beda, Ustadzah.”
Reni menenangkan, “Pasti beda, Nak. Di Plinggo, kalian punya kuasa atas tubuh kalian. Kalau nggak mau, bilang nggak. Ustaz Karim dan Ijal hormati itu.”
Ika akhirnya angkat bicara lagi, “Mbak, barangkali aku salah menilai Plinggo. Tapi aku masih takut. Tubuhku nggak kencang lagi. Kalau pria di Plinggo nggak suka, aku malu.”
Reni tertawa kecil, “Mbak Ika, cobalah lihat diri lagi. Tubuh Mbak besar, pinggul lebar, itu yang pria Plinggo cari. Mereka nggak pilih yang muda aja. Mbak akan lihat sendiri.”
Saat senja tiba, mereka sampai di desa Pak Togar. Rumah megah itu menyambut dengan lampu bohlam kuning, pekarangan penuh warga. Togar berdiri di teras, matanya berbinar melihat rombongan. “Selamat datang, Ustadzah Reni! Dan ini… santri-santri baru? Bagus sekali.”
Reni tersenyum, “Iya, Pak. Mereka siap belajar Plinggo.”
4521Please respect copyright.PENANAkhNrkLImiF
Di dalam, Ustaz Karim dan Ijal menyapa. Karim memandang Vera dan Aisyah, “Nak, kalian muda, tapi tubuh matang. Di Plinggo, kalian akan suci.”
Ika diam, tapi matanya mulai penasaran. Vera berbisik ke Aisyah, “Akhirnya aman, Sis.”
Mereka duduk di ruang tamu, sesi pengajian kecil dimulai. Reni merasa kemenangan di tangan tujuh jiwa baru, siap terjerat Plinggo, siap membangun surga baru.
4521Please respect copyright.PENANAktNUyWAUbR
follow Medsosnya juga ya IG : https://www.instagram.com/dsasaxi88?igsh=cjU4b2Y5bGljNHpi dan FB nya : https://www.facebook.com/share/19uqxy1kvv/
full akses ada di https://victie.com/novels/nafsu_berselimut_dakwah jangan lupa cek karya karya lainnya
ns216.73.216.133da2