https://www.penana.com/story/199970/penaklukan-dan-1-kegagalan SEASON 1
CCERITA INI ADALAH LANJUTAN DARI SERI DIATAS☝☝☝
BAB 1: LUKANYA DENI DAN JANJI TERLARANG
Malam itu, angin gunung menderu deras, membawa aroma tanah basah dan daun basah yang menempel di kulit Deni. Ia berjalan tertatih menuju padepokan mbah Suto, tubuhnya yang tegap kekar kini penuh goresan dalam dan memar biru kehitaman. Darah mengering di lengan kanannya, tepat di atas gelang akar bahar yang masih melingkar erat, seolah menjadi satu-satunya penjaga nyawanya.
Deni, pria berusia tiga pluh lima tahun yang lajang dan biasanya bekerja sebagai satpam di sebuah kompleks perumahan, berdiri dengan napas tersengal. Tingginya seratus tuujuh puluh sentimeter, postur tubuhnya kokoh seperti prajurit yang baru saja bertarung melawan neraka.
Kulit sawo matangnya berkilau karena keringat dan darah, rahang tegasnya menegang, hidung mancungnya mengerut saat ia menghirup udara segar. Matanya yang tajam menyipit menatap kegelapan hutan, rambut cepak rapinya acak-acakan tapi tetap memberi kesan disiplin ala militer. Dendam membara di dadanya, membakar setiap inci otot yang menegang.
Langkahnya pelan tapi pasti menapaki jalan setapak menuju padepokan Mbah Suto Wening, yang tersembunyi di lereng gunung yang curam. Padepokan itu seperti dunia lain: dinding bambu sederhana dikelilingi pohon-pohon tinggi, asap kemenyan mengepul tebal dari tungku batu di tengah halaman, menciptakan kabut putih yang menari-nari di bawah cahaya bulan.
Suara mantra rendah bergema dari bibir para pengikut yang duduk bersila, kata-kata kuno yang bergulung seperti ular di udara malam. Aroma rempah-rempah dan kayu bakar menyengat hidung Deni, membuatnya merasa kembali ke akar budayanya yang mistis. Ia ingat betul, padepokan ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi benteng pengetahuan leluhur yang menyimpan rahasia kekuatan gaib.
Deni mendorong pintu anyaman bambu, tubuhnya yang lelah ambruk di depan Mbah Suto yang sedang duduk di kursi kayu ukir. Mbah Suto Wening, pria berusia sekitar enam puluhan meski tidak ada yang tahu persis berapa usianya, menatapnya dengan mata yang dalam dan tajam, seolah bisa membaca jiwa.
Tubuhnya besar dan gemuk, bahu lebarnya memberi postur kokoh setinggi seratus tujuh puluh sentimeter, kulit gelapnya kontras dengan kain penutup kepala cokelat yang melingkar rapi di kepala. Rambut keritingnya yang memutih di tepian menjuntai samar, dan janggut tipis keabu-abuan menghiasi wajah bulatnya yang berwibawa. Ia mengenakan kain sarung sederhana, tangannya yang kasar memegang tongkat kayu berukir simbol-simbol kuno.
Beberapa hari kemudian Deni merasa tubuhnya jauh lebih baik daripada sebelumnya. Ia menemui mbah Suto dan mereka duduk berhadapan. “Mbah, apa masih ada cara untuk nyelametin tiga perempuan itu dan ngelahin si buto?” Katanya membuka percakapan.
"Deni," suara Mbah Suto dalam dan bergema, seperti guntur jauh. "Kamu bisa selamat dari si buto ijo itu udah bagus le."
Deni duduk di lantai tanah, napasnya masih berat. “Tapi mbah, saya merasa bertanggung jawab.”
Mbah Suto mengangguk pelan, matanya menyipit saat mendengar. Ia bangkit perlahan, tubuh gemuknya bergerak dengan keanggunan aneh, mendekati tungku dan menaburkan daun kering ke api. Asap naik lebih tebal, membentuk bayangan aneh di dinding. "Buto ijo itu bukan makhluk biasa, Deni. Ia makhluk kuno dari hutan terlarang, haus darah dan nafsu. Kau hampir mati, tapi ia juga terluka. Ia akan datang lagi, bukan cuma ke kamu." Mbah Suto berhenti, tatapannya menusuk. "Untuk kalahkan dia, kau butuh kekuatan tambahan. Bukan ilmu biasa, tapi energi yang dalam, yang lahir dari ikatan terlarang."
Deni mengerutkan dahi, luka di lengannya perih saat ia bergeser. "Kekuatan apa, Mbah? Saya siap ngelakuin apa aja, asal bisa balas dendam."
Mbah Suto tersenyum tipis, janggutnya bergoyang. Ia ambil gulungan kain tua dari rak kayu, membukanya untuk tunjukkan gambar pudar: sosok wanita berhijab dengan aura cahaya samar. "Jule Berliana. Wanita berusia dua puluh enam tahun, tinggal di kompleks perumahan kota. Ia satu-satunya yang selamat dari serangan buto ijo bertahun lalu. Makhluk itu 'mengunjungi' dia, menyentuh esensinya yang paling dalam. Energi itu masih ada di tubuhnya, energi yang bisa kau serap. Tapi caranya... kau harus dekati dia, sentuh dia, dan setubuhi dia. Hubungan intim itu akan alirkan kekuatan dari rahimnya ke darahmu. Hanya lewat itu, kau bisa lawan buto ijo dengan setara."
Kata-kata itu menghantam Deni seperti pukulan. Ia bayangkan Jule: dari cerita Mbah, wanita ramping dengan kulit putih mulus, wajah tirus cantik, dan tubuh yang penuh rahasia.
Dendamnya terhadap buto ijo membara, tapi ada sesuatu yang lain menyusup—penasaran erotis yang gelap. Bagaimana rasanya merasakan wanita yang pernah disentuh makhluk itu? Tubuhnya yang tegap menegang, imajinasinya melayang ke sentuhan kulit lembut, desahan malam, dan kekuatan yang mengalir saat penis-nya menembus vagina yang pernah dirasuki nafsu gaib.
Ragu melanda hatinya; ia bukan pria yang suka memaksa, tapi misi ini terlalu penting. "Baik, Mbah. Aku lakukan. Di mana dia tinggal?"
Mbah Suto beri petunjuk: alamat kompleks perumahan di pinggir kota, dekat masjid besar. Ia pegang bahu Deni, energi hangat mengalir dari telapak tangannya. "Hati-hati, anakku. Jule istri seorang ustadz, setia tapi rapuh. Jangan buru-buru, dekati pelan. Dan ingat, gelang itu akan bantu kau rasakan auranya."
Deni bangkit, tubuhnya yang penuh luka terasa lebih kuat. Dendamnya seperti api yang tak padam, dicampur hasrat yang baru lahir. Ia peluk tangan Mbah Suto sebagai salam perpisahan, lalu melangkah keluar padepokan. Angin malam menyambutnya, membawa janji pertarungan dan kenikmatan terlarang.
Dengan tas sederhana di bahu, Deni turun gunung menuju kota. Alamat Jule terpatri di benaknya, langkahnya mantap meski tubuh perih. Malam itu, ia tahu, adalah awal dari perjalanan yang akan ubah segalanya—balas dendam, dan nafsu yang tak terbendung.
ns216.73.216.33da2


