
Indri bangun dengan tubuh lemas, cahaya pagi merambat masuk lewat celah jendela kosannya yang kusam. Tangannya meraih ponsel di samping bantal. Layarnya menyala, angka digital menunjukkan pukul 07:00. Helaan napas panjang ia lepaskan, seakan mencoba mengusir rasa berat di dadanya.
555Please respect copyright.PENANAvnWZGSGcV2
Pelan-pelan Indri berdiri, mengambil handuk lusuh dari gantungan, lalu melangkah ke kamar mandi kosannya. Suasana kamar mandi itu jauh dari kata layak. Temboknya ngelupas, catnya berjamur, bak mandi semen berlumut di sisi-sisinya, bahkan ada beberapa bagian tembok yang bolong menampakkan bata merah. Pintu seng yang dipasang seadanya tidak menutup rapat, goyang setiap kali angin lewat.
555Please respect copyright.PENANAAfRYOkPIFY
Indri mulai mandi dengan gayung, mengguyur tubuhnya berkali-kali. Air dingin merembes ke kulit, membuatnya sedikit merinding. Rambut panjangnya basah menempel di pipi.
555Please respect copyright.PENANA3ivGdR2J0a
Tiba-tiba, suara dering notifikasi ponsel terdengar samar dari dalam kamarnya.
“Tring… tring… tring…”
Suara khas pesan WhatsApp itu nyaring memanggil.
555Please respect copyright.PENANAKgIjgdaxvU
Indri berhenti sesaat, tangan masih memegang gayung. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, hanya ada satu orang yang bisa menghubunginya sepagi ini: nomor asing yang semalam mengancamnya...
Selesai mandi, aku melilitkan handuk ke tubuh. Air masih menetes dari rambutku yang basah. Aku keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan, masih bisa merasakan dinginnya lantai semen di bawah kaki.
555Please respect copyright.PENANAoeWZOxco9N
Aku segera meraih ponsel di kasur. Layarnya menyala. Ada 1 panggilan tak terjawab. Aku langsung mengenali nomor itu—orang asing semalam. Foto profilnya bikin aku sedikit merinding: logo tengkorak bersayap khas Avenged Sevenfold berwarna hitam putih.
555Please respect copyright.PENANAROQ58Ljkv4
Tanganku gemetar waktu buka chat.
555Please respect copyright.PENANAe9O9FIv3ou
> Pesan WhatsApp:
“Pagi. Sekarang siap². Kamu ke sawah, pakai gamis sama hijab. Gak usah pakai BH sama CD. Ingat, jangan coba macam².”
555Please respect copyright.PENANAMevLOTCAsc
Aku termenung, menatap tulisan itu lama. Ada rasa takut yang mencengkeram, tapi aku gak bisa munafik… sisa perasaan horny semalam waktu mulutku dipaksa melayani batang laki-laki itu masih membekas. Tubuhku sendiri seperti berkhianat, mengingat kenikmatan yang kubenci tapi juga kurindu.
555Please respect copyright.PENANAbxdgJGUSmF
Aku akhirnya berdiri, membuka lemari kayu kecil di pojok kamar. Kutemukan gamis polos warna biru tua. Aku tarik napas panjang, lalu perlahan mengenakannya. Saat kain menutupi tubuhku, jantungku makin berdegup.
555Please respect copyright.PENANAhGyercgRcq
Belum selesai aku merapikan kerudung segitiga tipis, ponselku kembali bergetar.
555Please respect copyright.PENANAVx0BxJdgYH
> Notif Chat Baru:
“Kalau kamu udah jalan menuju gubuk, kabari aku. Jangan telat.”
---
555Please respect copyright.PENANAi4yPQssXDm
---
555Please respect copyright.PENANAc9eTmrEaYN
Langkah demi langkah, Indri menapaki jalan setapak sawah yang becek di beberapa bagian. Suara telepon di telinganya terus memberi arahan, kadang dengan nada santai, kadang tegas, membuatnya tak punya pilihan selain menuruti.
555Please respect copyright.PENANALxtpzxJAEW
Dari kejauhan, akhirnya gubuk kecil itu mulai terlihat—berdiri di antara hamparan hijau padi yang bergoyang pelan ditiup angin. Atapnya terbuat dari rumbia, sebagian sudah lapuk, dan dindingnya hanya bilah bambu yang bolong di sana-sini.
555Please respect copyright.PENANAMulN9wTgpO
Indri menelan ludah, jantungnya berdetak makin keras. Suara di seberang telepon masih terdengar, “Iya, itu dia. Jalan terus, jangan berhenti. Aku lihat kamu.”
555Please respect copyright.PENANA0xLHQ5KCxR
Gubuk makin dekat. Indri merasakan udara sekitar semakin sunyi, hanya terdengar desir angin dan suara serangga.
555Please respect copyright.PENANAslfTjYjziW
Akhirnya, ia sampai di depan pintu gubuk. Tangannya gemetar, matanya menatap pintu bambu yang setengah terbuka. Dari telepon, suara laki-laki itu terdengar jelas, tenang namun membuat bulu kuduk berdiri:
555Please respect copyright.PENANAQ49Z8JrbXc
“Masuk. Jangan banyak pikir. Tutup pintunya dari dalam.”
555Please respect copyright.PENANAPk9eFmntAJ
Indri berdiri sejenak, ragu, takut, bahkan sempat menoleh ke belakang seakan mencari alasan untuk mundur. Tapi entah karena rasa takut ancaman semalam, atau dorongan rasa penasaran yang ia sendiri tak bisa kendalikan, akhirnya ia melangkah masuk ke dalam gubuk itu—pelan, hati-hati, seperti seseorang yang sedang masuk ke dunia baru yang gelap dan penuh misteri.
Begitu aku melangkah masuk, jantungku hampir copot. Pandanganku langsung tertuju pada seekor anjing lokal berwarna cokelat, tubuhnya lumayan besar, bulunya agak kusut, lehernya terikat tali tambang di tiang bambu.
555Please respect copyright.PENANADAgz5nh7Me
Anjing itu langsung menggonggong keras, suaranya menggema di dalam gubuk reyot. Tubuhku refleks mundur, hampir berlari keluar lagi. Tanganku bahkan sudah menyentuh pintu bambu ketika suara di telepon terdengar keras, nada tinggi, hampir membentak:
555Please respect copyright.PENANAwVJmR8xGzF
“Jangan keluar! Tetap di dalam!”
555Please respect copyright.PENANAvC52mABkDs
Aku terhenti, gemetar, bingung harus bagaimana. Anjing itu masih menggonggong, matanya tajam menatapku, seolah siap menerkam kapan saja. Aku tarik napas panjang, mencoba tenang meskipun jantungku berdegup tak karuan.
555Please respect copyright.PENANAUhXPeCsL0f
Perlahan aku memalingkan wajah, mencoba tidak menatap langsung ke mata anjing itu. Entah bagaimana, gonggongannya mulai mereda, hanya berganti dengan geraman rendah, lalu akhirnya diam. Aku masih berdiri kaku, tapi ketika menyadari anjing itu tidak lagi melompat atau menegangkan tubuhnya, aku ikut mengendurkan bahu, berusaha tenang.
Aku berdiri terpaku, masih mencoba menenangkan diri. Nafasku pelan, tangan gemetar, tapi suara laki-laki dari telepon tetap terdengar jelas, seakan tahu persis apa yang sedang kulakukan.
555Please respect copyright.PENANAGpacO7Kdbc
“Ambil karung di pojok depan kamu. Cepat keluarin isinya.”
555Please respect copyright.PENANA2v1XUeIPKc
Aku menoleh, di pojokan gubuk kulihat sebuah karung berwarna putih kusam. Dengan langkah ragu, aku mendekat, lalu meraih karung itu. Rasanya agak berat. Kukuatkan hati, kutarik ke tengah, lalu mulai mengeluarkan isinya satu per satu.
555Please respect copyright.PENANAWJ18W4ttJL
Tanganku menyentuh panci kecil, lalu sebotol besar air mineral, dua bungkus mie instan rebus, seperempat kilo beras dalam plastik bening, korek api, obat nyamuk bakar bulat, sebotol lotion nyamuk, sepotong kain jarit masih baru, dan terakhir… ikan mentah segar yang masih berbau amis.
555Please respect copyright.PENANAWfQqnWqhpy
Aku terdiam. Keningku berkerut. “Buat apa semua ini?” gumamku pelan, penuh tanda tanya.
555Please respect copyright.PENANArAfxb7NC7k
Suara dari telepon kembali masuk, dingin tapi tegas.
“Semua itu buat kamu. Kecuali ikan mentah. Itu buat Bruno.”
555Please respect copyright.PENANACbcksevlDu
Aku refleks menoleh ke arah anjing cokelat yang sejak tadi duduk dengan leher terikat tambang. Jadi namanya Bruno. Anjing itu masih menatapku, tapi kali ini tak lagi menggonggong—hanya diam, seolah menunggu.
555Please respect copyright.PENANAPSpkjrfZFk
Sementara aku masih duduk di lantai bambu, mencoba mengurai maksud dari semua ini, suara di telepon bertanya lagi:
555Please respect copyright.PENANAYtOt8vEKlQ
“Pintunya udah dikunci belum?”
555Please respect copyright.PENANA8obzhHOfqA
Aku menoleh cepat ke arah pintu gubuk yang tadi nyaris kulewati. Ternyata masih sedikit terbuka. Dengan hati-hati, aku bangkit, melangkah mendekat, lalu menutup pintu itu rapat-rapat. Kutarik kayu sederhana yang jadi pengaitnya, memastikan terkunci dari dalam.
555Please respect copyright.PENANA7cXobsTKYq
“Udah…” jawabku lirih.
555Please respect copyright.PENANAONv4DdL4SL
Suaraku sendiri terdengar asing di telingaku, campuran antara pasrah, penasaran, dan takut..
suara orang asing itu terdengar dingin, kali ini jelas memberi perintah baru.
555Please respect copyright.PENANA839qY4dZp2
“Buka gamisnya. Masukin ke karung. Pakai kain jarit yang tadi. Jangan banyak alasan,” suara itu tegas, menekan.
555Please respect copyright.PENANAoeeGhf9LqA
Indri langsung kaget. Matanya membesar, tubuhnya gemetar. “T-tapi… aku—” ucapnya lirih, penuh keraguan.
555Please respect copyright.PENANAFNusxiY3T6
“Kalau nggak nurut, videomu nyebar sekarang juga,” ancam suara itu tanpa ragu.
555Please respect copyright.PENANAUwHqE2wTqp
Jantung Indri berdegup makin keras. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Dengan tangan gemetar, ia akhirnya menuruti. Gamisnya dilepas perlahan, dilipat seadanya, lalu dimasukkan ke karung. Kain jarit baru itu ia lilitkan ke tubuh, tanpa apa pun di dalamnya—karena memang sebelumnya sudah dipaksa meninggalkan bh dan celana dalam. Rasa malu bercampur takut membuat wajahnya merah menahan tangis.
555Please respect copyright.PENANA2TFduqlXrX
Belum sempat menenangkan diri, suara di telepon kembali terdengar:
“Sekarang, kasih ikan mentah itu ke Bruno.”
555Please respect copyright.PENANACO7QIqWyUD
Indri tersentak. Kepalanya menoleh ke arah anjing coklat besar yang sejak tadi duduk di sudut, matanya tajam menatapnya. Keringat dingin muncul di pelipis. “Aku takut…” bisiknya, hampir tak terdengar.
555Please respect copyright.PENANA3IwFpAB9N8
“Lakuin. Atau kamu tahu akibatnya,” suara itu kembali mengancam.
555Please respect copyright.PENANAIlpURRYB97
Dengan langkah pelan dan tubuh gemetar, Indri mendekat sambil membawa ikan mentah. Kedua tangannya bergetar hebat, tapi akhirnya ia julurkan ikan itu ke arah Bruno.
555Please respect copyright.PENANAfePMBacIxw
Anjing itu langsung menyambar dengan cepat. Suara giginya merobek daging mentah terdengar jelas. Indri terperanjat, mundur sedikit, wajahnya menegang. Tapi kemudian ia hanya bisa terpaku, matanya lebar, melihat bagaimana Bruno makan rakus. Lidah anjing itu berlumuran darah ikan, rahangnya bergerak kasar, membuat Indri semakin merasa ngeri.
555Please respect copyright.PENANAPcyDFykAeK
Ekspresi Indri berubah antara takut, jijik, sekaligus lega karena anjing itu tampak sibuk dan tidak lagi melihat nya. Ia berdiri kaku, tangannya masih gemetar, matanya berair menahan rasa yang bercampur aduk.
Suara dari telepon kembali terdengar, kali ini nadanya seperti mengejek tapi dingin menusuk.
“Bagus indri sayang kamu harus nurut. Pintar,” katanya dengan nada sinis, seperti sedang mempermainkan.
555Please respect copyright.PENANAH41dVh4BA5
Indri menggigit bibir bawahnya, wajahnya menunduk, malu sekaligus takut.
555Please respect copyright.PENANA3uCYM0RLh8
“Sekarang istirahat aja. Jangan coba-coba kabur, jangan macem-macem. Ingat, aku tahu semua gerakanmu,” suara itu mengancam, lalu sambungan telepon diputus begitu saja.
555Please respect copyright.PENANA7PqOorb6Bk
Indri terdiam, menatap layar hp yang kini gelap. Hatinya berdegup kencang, pikirannya penuh tanda tanya dan rasa cemas. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merebahkan tubuhnya di lantai papan gubuk yang dingin dan berdebu. Tubuhnya hanya terbalut jarit tipis, kulitnya terasa kedinginan.
555Please respect copyright.PENANAvyARbIsBZs
Di sudut gubuk, Bruno—anjing coklat besar itu—masih sibuk menjilati mulutnya setelah makan ikan mentah tadi. Sesekali menoleh ke arah Indri, membuat jantungnya makin berdebar. Tapi lelah dan takut bercampur, hingga akhirnya kelopak matanya pelan-pelan menutup.
555Please respect copyright.PENANA9J8bnzKLAS
siang itu, di gubuk reyot yang hanya ditemani seekor anjing besar, Indri terpaksa beristirahat dengan hati penuh waswas. Ia tak tahu, apa yang akan terjadi saat telepon itu kembali berbunyi. Apakah orang asing itu akan menuntut hal yang lebih mengerikan? Ataukah ada rencana lain yang jauh lebih gelap menantinya?
555Please respect copyright.PENANAzeG2JH0BFZ
Yang jelas, sejak detik itu, hidup Indri sudah bukan lagi miliknya sendiri. Semua akan berubah, perlahan tapi pasti.
555Please respect copyright.PENANAMjeKvHjEum
555Please respect copyright.PENANAhyrnyw5IPW