Namaku Budi, 35 tahun, pegawai negeri di kantor kecamatan yang hidupnya terasa lengkap meski sederhana. Istriku, Afifah, cantik luar biasa, mantan guru TK yang kini fokus ngurus rumah dan keluarga. Anak kami, Rafi, 15 tahun, baru masuk SMA dan mulai punya gaya remaja yang bikin aku geleng-geleng kepala. Kami tinggal di perumahan biasa, rumah kecil dengan halaman sempit yang cuma muat dua pot tanaman. Setiap hari penuh tawa, dari Afifah yang nyanyi lagu anak sampai Rafi yang ngoceh soal temen sekolahnya. Hidup kami nggak mewah, tapi hangat, seperti kopi pagi yang aku nikmati di teras.
12304Please respect copyright.PENANAZsV1aVwAtM
Aku dan Afifah dijodohkan saat masih muda banget. Aku 19 tahun, masih kuliah sambil kerja serabutan di kelurahan, cuma anak kampung biasa. Afifah, 18 tahun, baru lulus SMA, datang bareng tanteku yang bilang dia calon istri idaman. Pertama lihat Afifah, aku langsung kagok—rambut panjang, mata bening, senyumnya bikin jantungan. “Halo, Budi... boleh panggil Mas, nggak?” tanyanya dengan suara lembut, pipinya agak merah. Aku cuma angguk, lidahku kayak ketarik masuk. Setahun kemudian, kami nikah, memulai hidup berdua dengan mimpi sederhana.
12304Please respect copyright.PENANAerY4lWfH29
Afifah waktu itu masih kuliah sambil ngajar di TK, aku mulai kerja tetap di kecamatan. Hidup kami sederhana, ngontrak rumah kecil dengan dapur yang selalu bau rempah. Pulang kerja, aku suka lihat Afifah masak sambil nyanyi lagu anak, rambutnya diikat asal. “Mas, coba sop ini, enak nggak?” tanyanya, nyodorin sendok dengan senyum lebar. Aku nyicip, langsung bilang, “Enak banget, Fah, kamu chef bintang lima deh.” Dia cuma ketawa, ngejewer kupingku pelan. Rumah kecil itu penuh kehangatan meski cuma berisi kasur sederhana dan meja makan kayu.
12304Please respect copyright.PENANANmTUD21CCO
Rafi lahir pas kami umur 20, bikin hidup kami makin ramai dan berwarna. Dari bayi, dia udah suka ketawa kenceng, bikin tetangga pada ngintip dari jendela. Sekarang, Rafi udah gede, rambut disisir rapi, mulai sok ganteng ala anak SMA. “Pa, boleh beli sepatu baru nggak? Kan masuk SMA, harus keren,” katanya sambil cek hp, matanya penuh harap. Aku cuma nyengir, “Sepatu lama masih bagus, Raf, nabung dulu.” Afifah dari dapur nimbrung, “Budi, kasih aja, biar anak pede.” Rafi langsung nyengir lebar, “Makasi, Ma, terbaik!”
12304Please respect copyright.PENANAEzmx7V94CO
Afifah emang istri yang luar biasa, cantik dan penuh perhatian. Dulu pas ngajar TK, anak-anak suka nempel, panggil dia “Bu Cantik” karena wajahnya cerah. Sekarang, meski udah jadi ibu rumah tangga, dia masih suka nyanyi lagu anak sambil nyapu lantai. “Fah, ganti lagu dong, ‘Balonku’ mulu,” candaku suatu pagi sambil ngopi. Dia malah nyanyi lebih keras, “Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru!” sambil ketawa ngakak. Rafi dari sofa cuma ngeluh, “Ma, tolong, orang SMA nggak dengerin lagu begitu.” Aku cuma ketawa, lihat mereka berdua bikin pagi terasa hidup.
12304Please respect copyright.PENANAINq3y3Gu7o
Pagi di rumah kami selalu ramai dan penuh energi. Aku ngopi di teras, Afifah nyiram anggrek yang dia rawat kayak anak sendiri. Rafi buru-buru siap ke sekolah, tasnya digendong sebelah. “Pa, jemput aku nanti ya, ada les matematika,” katanya sambil lari ke gerbang, sepatu baru dipamerkan. Afifah ngeliatin tanamannya, “Mas, anggrek ini kenapa nggak mekar ya? Pupuknya kurang kali.” Aku cuma ketawa, “Sabar, Fah, kasih air doa, pasti mekar.” Dia nyanyi kecil, ngeledekin aku sambil lanjut nyiram.
12304Please respect copyright.PENANAQ1IoqX0mI9
Meski dijodohkan, cinta kami tumbuh alami dan kuat. Afifah punya kebiasaan manis, tiap malam suka nyanyi lagu lawas kayak “Cinta” Vina Panduwinata sambil selonjoran di sofa. “Mas, kamu masih sayang aku nggak?” tanyanya iseng, matanya nakal sambil nyanyi pelan. Aku pura-pura mikir, “Hmmm, selama nasi gorengmu enak, ya sayang lah.” Dia cubit pinggangku, ketawa ngakak sampai air matanya keluar. Rafi cuma geleng-geleng, “Orang tua, tolong, jangan mesra di depan anak.” Suasana malam kami selalu hangat begitu.
12304Please respect copyright.PENANAVY4cqrZeA4
Rafi sekarang masuk fase remaja yang kadang bikin pusing kepala. Dia ogah disuruh bantu-bantu, apalagi nyapu halaman rumah. “Pa, aku kan udah SMA, masa nyapu?” keluhnya suatu hari sambil main hp. Afifah cuma nyanyi, “Rafi, ayo bantu, nanti Mama bikin es teh manis.” Rafi langsung ambil sapu, “Yaudah, cepet, Ma, esnya jangan pelit gula.” Aku cuma ketawa, Afifah emang jago ngatur anak tanpa harus marah-marah. Dia selalu punya cara bikin Rafi nurut dengan senyuman.
12304Please respect copyright.PENANAkZQguz2Jba
Rumah kami nggak besar, cuma rumah sederhana dengan halaman kecil. Di depan cuma muat dua pot anggrek dan meja kayu buat ngopi. Tetangga di perumahan ini ramah, meski kadang suka kepo soal hidup kami. “Bu Afifah, kok awet muda sih?” tanya Bu RT pas arisan minggu lalu. Afifah cuma ketawa, “Minum air putih, Bu, sama sabun colek tiap hari.” Aku nyamber, “Iya, sabun colek buat cuci piring, aku yang kena kerja keras.” Afifah cuma nyanyi, “Cemburu-cemburu, hayo ngaku!” sambil lempar kain lap ke aku.
12304Please respect copyright.PENANAEiw3acGwex
Afifah suka bikin kue, kadang bagi-bagi ke tetangga biar akrab. “Mas, kue ini buat Bu RT ya? Sisanya buat kamu,” katanya sambil bungkus kotak kue cokelat. Aku cuma angguk, “Jangan lupa simpen yang cokelat, Fah, favoritku itu.” Dia nyengir, “Tenang, Mas, kamu kebagian porsi jumbo.” Rafi dari kamar teriak, “Ma, aku juga mau kue, jangan Papa doang!” Afifah cuma ketawa, “Sabar, Raf, antri sama Papa dulu.” Rumah kami selalu hidup dengan candaan kecil kayak gitu.
12304Please respect copyright.PENANAH4UPthEFTW
Rafi, meski kadang bandel, sebenarnya anak yang penurut. Dia suka cerita soal temen-temen SMA-nya, dari klub basket sampai gosip anak kelas. “Pa, temenku bilang pacaran itu seru, tapi aku sih fokus basket,” katanya suatu malam sambil makan. Aku langsung melotot, “Belajar dulu, Raf, pacaran nanti pas udah kerja.” Afifah cuma cekikikan, “Budi, jangan galak, nanti Rafi curhat sama temen.” Rafi nyengir, “Tenang, Ma, aku nggak gitu, kok.” Aku cuma geleng-geleng, anak ini kadang bikin deg-degan.
12304Please respect copyright.PENANAjYqZk6E5ZD
Tiap malam, kami suka duduk bareng di ruang tamu, ngobrol apa aja. Afifah cerita rencana masakannya, matanya berbinar tiap bahas resep baru. “Mas, besok aku mau coba bikin rendang, mau nggak?” tanyanya sambil selonjoran di sofa. Aku langsung semangat, “Mau banget, Fah, porsi double ya, biar bawa bekal.” Rafi nimbrung, “Ma, bikin yang nggak pedes, aku nggak kuat.” Afifah cuma ketawa, “Rafi, rendang kalo nggak pedes, namanya sop, Nak.” Kami ketawa bareng, suasana selalu hangat.
12304Please respect copyright.PENANA4eqXs20Rce
Hari-hari kami penuh canda, kayak keluarga biasa yang saling nyanyi dan ngeledek. Afifah bikin suasana hidup dengan lagu-lagunya, Rafi bikin rame dengan cerita remajanya, aku cuma ikut nimbrung sambil ngopi. Tapi, akhir-akhir ini, aku ngerasa ada yang beda dengan Afifah. Dia masih cantik, masih perhatian, tapi kadang melamun, matanya kayak nyanyi sendiri. “Fah, kamu kenapa? Capek ya?” tanyaku suatu malam di ruang tamu. Dia cuma senyum, “Nggak, Mas, cuma mikirin resep rendang tadi.”
12304Please respect copyright.PENANARhQJeBw93r
Aku coba nggak mikir macem-macem, tapi hati kecilku mulai gelisah. Afifah masih nyanyi seperti biasa, masih masak enak, masih cubit pinggangku tiap aku bercanda. Tapi sorot matanya, entah kenapa, bikin aku ngerasa ada sesuatu yang disembunyikan. Mungkin cuma perasaanku, tapi aku mulai curiga—ada apa di balik senyum manis istriku? Aku cuma bisa berdoa, semoga ini cuma pikiran burukku yang lebay. Tapi, entah kenapa, perasaan itu nggak mau pergi.
ns216.73.216.13da2


