Malam itu, Bima, suamiku, lagi-lagi lembur, entah sampai jam berapa. Aku sudah pasrah, duduk sendirian di sofa dengan ponsel yang cuma menunjukkan notif “Sibuk, Man, besok pulang pagi” dari dia. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, jam menunjukkan pukul 20:30. Aku kaget, siapa yang main malam-malam? Pas buka pintu, ternyata Mas Rudi, berdiri dengan kaus santai dan celana pendek, senyum lebar seperti biasa. “Mbak Amanda, nggak ganggu, kan? Iseng aja, tadi Sari bilang dia mau tidur cepet, jadi saya pikir mampir ke tetangga,” katanya, nadanya santai tapi ada kilau genit di matanya.
2521Please respect copyright.PENANAyCmj7rqgj7
Aku langsung tersenyum lebar, “Wah, Mas Rudi, masuk dong! Kebetulan banget, saya lagi bosen.” Aku mengenakan tanktop merah ketat dengan bra hitam yang talinya sengaja kubiarkan kelihatan di pundak, dipadukan dengan celana pendek yang memperlihatkan paha mulusku. Aku tahu penampilanku ini bakal bikin dia melirik, dan aku nggak salah. Begitu dia masuk, matanya langsung menangkap tali bra hitamku, lalu buru-buru dialihkan ke sofa. “Eh, Mbak, lagi nonton apa?” tanyanya, mencoba santai.
2521Please respect copyright.PENANA84ww4npRKK
Kami duduk di sofa ruang tamu, agak berdekatan karena sofa dua dudukan ini memang sempit. Aku nyalakan Netflix, pilih film komedi romantis yang ringan, biar suasana nggak canggung. “Mas Rudi suka film gini, nggak?” tanyaku, sengaja menatap matanya agak lama. Dia balas tatapan, kali ini nggak malu-malu lagi seperti kemarin. “Suka, Mbak. Apalagi kalau nontonnya sama tetangga cantik,” candanya, dan aku ketawa, pura-pura memukul lengannya, “Mas bisa aja, deh!” Tapi dalam hati, jantungku berdegup kencang.
2521Please respect copyright.PENANAzIuN9JlUi9
Entah kenapa, malam itu kami jauh lebih akrab. Mata kami sering bertemu, dan aku nggak lagi ragu menatapnya dengan genit. Bahu kami sesekali bersenggolan, paha mulusku juga sempat menyentuh pahanya karena posisi duduk yang dekat. Aku merasa dia nggak keberatan, malah sepertinya menikmati. Setiap kali aku menggeser posisi, tali bra hitamku yang kelihatan di pundak bikin matanya melirik, dan aku sengaja nggak menutupinya. “Mbak Amanda, ini bra-nya sengaja dipamerin, ya?” katanya tiba-tiba, setengah bercanda, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.
2521Please respect copyright.PENANAHGqwTskCf6
Aku ketawa, “Lah, Mas Rudi yang matanya nggak bisa diem, sih!” balasku, sengaja menggodanya. Aku lalu mengangkat tangan, pura-pura menguncir rambut panjangku, sengaja memamerkan ketiakku yang mulus, putih, dan wangi karena rutin kucukur dan kupakai deodoran. Mas Rudi menatap, kali ini nggak buru-buru mengalihkan pandangan. “Ya Tuhan, Mbak, ketiaknya… indah banget, deh,” katanya, suaranya canggung tapi jujur. Aku kaget, tapi malah ketawa, “Indah? Serius, Mas? Ketiak doang dipuji?”
2521Please respect copyright.PENANASgYRZbhn5R
“Iya, serius. Bersih, mulus, beda banget sama… eh, sama punya Sari,” katanya, buru-buru nge-rem karena sadar keceplosan. Aku cuma nyengir, merasa pujian itu bikin aku melayang. “Bedanya apa, sih, Mas? Ceritain dong,” godaku, sengaja mencondongkan tubuh biar ketiakku makin dekat dengannya. Dia tersipu, “Ya… Sari kan nggak terlalu perawatan, Mbak. Ketiak Mbak ini kayak… entah kenapa, bikin orang pengen deket.” Aku ketawa, tapi hatiku kegirangan.
2521Please respect copyright.PENANAk8TnBiH5Hs
Aku nekat, entah apa yang merasukiku. “Mau cium, Mas? Biar tahu wanginya,” kataku, setengah bercanda, tapi nada genitku jelas banget. Mas Rudi melotot, mukanya merah, “Hah, Mbak, serius?” Aku cuma mengangguk, tersenyum nakal, dan mengangkat tangan lebih tinggi. Dia ragu-ragu, tapi akhirnya mencondongkan tubuh, hidungnya mendekat ke ketiakku. Aku merinding pas dia mencium pelan, lalu… astaga, dia menjilat sedikit, lembut, kayak takut salah. “Wangi banget, Mbak,” gumamnya, suaranya serak.
2521Please respect copyright.PENANA4SPLKlULYv
Aku nggak nyangka bakal sejauh ini, tapi aku nggak menolak. Dia mencium lagi, lebih berani, lalu seperti kehilangan kontrol, dia cuddle di leherku, cium-cium pelan seolah aku istrinya sendiri. Aku memejamkan mata, rasanya bahagia banget, sesuatu yang udah lama nggak kurasain dari Bima. Tubuhku panas, jantungku berdegup kencang, tapi aku cuma diam, menikmati setiap sentuhan lembutnya. “Mas… ini nggak salah, ya?” tanyaku pelan, suaraku hampir bergetar.
2521Please respect copyright.PENANAibf8OqGgEn
Dia berhenti sejenak, menatapku, matanya penuh campuran rasa bersalah dan hasrat. “Mbak, maaf… saya kebawa suasana,” katanya, tapi tangannya masih di pundakku. Aku cuma tersenyum, “Nggak apa, Mas. Tapi… jangan bilang siapa-siapa, ya.” Dia mengangguk, “Pasti, Mbak.” Kami diam sejenak, film di Netflix masih jalan, tapi kami nggak lagi peduli. Aku tahu ini salah, tapi perhatian dan sentuhan Mas Rudi bikin aku merasa diinginkan, sesuatu yang Bima udah lama nggak kasih.
2521Please respect copyright.PENANAjpb92nkqPC
Kami lanjut ngobrol, tapi suasananya beda sekarang, lebih intim. Dia cerita soal masa mudanya lagi, tapi sesekali matanya masih melirik ke tali bra hitamku atau ketiakku yang tadi dia cium. Aku juga nggak kalah genit, sengaja menyentuh lengannya saat ketawa, atau menggeser posisi biar paha kami bersentuhan lagi. “Mbak Amanda, serius, Mas Bima kok bisa sih ninggalin Mbak sendirian gini?” katanya tiba-tiba, nadanya serius. Aku cuma menghela napas, “Entah kenapa, Mas. Mungkin dia lupa caranya sayang sama istri.”
2521Please respect copyright.PENANAqAGDLegXrr
Dia diam, lalu pelan-pelan berkata, “Kalau saya, nggak bakal lupa.” Aku cuma tersenyum, nggak tahu harus balas apa. Hati kecilku tahu ini udah kelewat batas, tapi aku nggak bisa bohong—aku bahagia banget malam ini. Aku bandingkan lagi sama Mba Sari, yang katanya nggak terlalu merawat diri, sementara aku selalu jaga tubuhku biar tetap seksi dan mulus. “Mungkin Mas Rudi bener, dia butuh istri kayak aku,” pikirku, meski buru-buru kucegah.
2521Please respect copyright.PENANA4lYY3CXSDl
Mas Rudi pamit sekitar jam 10 malam, bilang harus balik sebelum Mba Sari curiga. “Makasih ya, Mbak, malam ini seru banget,” katanya, senyumnya masih penuh makna. Aku cuma balas, “Aku juga, Mas. Kapan-kapan main lagi, ya.” Dia mengangguk, dan aku tutup pintu, bersandar di dinding, napasku masih agak cepat. Aku lihat ponsel, masih nggak ada kabar dari Bima. Aku tarik napas panjang, lihat bayanganku di cermin: tanktop merah, bra hitam, tubuh yang Mas Rudi puji-puji. “Amanda, kamu gila,” gumamku, tapi senyumku nggak bisa bohong—aku suka apa yang terjadi malam ini, dan aku tahu, ini baru permulaan.
ns216.73.216.125da2